Jumat, 07 Mei 2010

SPERMATOZOA

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Spermatozoa di bentuk di dalam testes melalui proses yang disebut spermatogenesis, tetapi mengalami pematangan lebih lanjut di dalam epididimis di mana sperma di simpan sampai ejakulasi.
Spermatogenesis di mulai pada waktu pubertas yaitu sewaktu hewan mencapai dewasa kelamin. Pubertas pada ternak jantan timbul pada waktu yang hampir bersamaan dengan ternak betina dalam spesies yang sama. Timbulnya pubertas pada ternak jantan di tandai dengan sifat kelamin sekunder dan kesanggupan berkopulasi dan adanya sperma hidup didalam ejakuasi.
Spermatozoa dihasilkan di dalam tubuli semineferi. Mereka berasal dari spermatogonia epitel germinalis yang terdapat di lapisan luar tubuli. Pertumbuhan sel-sel ini dengan suatu sel pembelahan mengarah ke lumen tubuh sehingga sel-sel akan melepaskan diri dari sel-sel sekitar dan berubah bentuk dan ciri-cirinya.
Apabila dilihat dari mikroskop elektron membran sel spermatozoa kelihatan identik dengan sel dari spermatid untuk lebih mengetahui tentang perkembangan spematozoa pada setiap bagian-bagian dari testes maka hal inilah yang malatarbelakangi dilaksanakannya praktikum mengenai Perkembangan Spermatozoa.



Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum Dasar Reproduksi Ternak mengenai Perkembangan Spermatozoa adalah untuk mengetahui perkembangan spermatozoa pada sapi.
Kegunaan dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat mengenal bentuk-bentuk pada setiap tahap perkembangan spermatozoa didalam testis dan saluran reproduksi jantan.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Spermatozoa
Spermatozoa adalah sel kecambah yang mana setelah masak kemudian bergerak melalui epidydimis, yang mampu membuahi ovum setelah terjadinya kapasitasi pada hewan betina. Spermatozoa itu menjadi aktif bergerak setelah menyentuh bahan-bahan yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar aksesoris (ampula, kelenjar vesicularis, kelenjar prostate, dan kelenjar cowper’s). Meskipun demikian, banyak diantara spermatozoa tersebut mengalami degenerasi dan diserap kembali oleh sel-sel epithelium epididimis dan vas deferens dan banyak pula ynag disekresikan dalam urin (Frandson, 1992).
Spermatozoid atau sel sperma atau spermatozoa (berasal dari bahsa yunani kuno yang berarti benih dan makhluk hidup) adalah sel dari sistem reproduksi jantan. Sel sperma akan membentuk zigot. Zigot adalah sebuah sel dengan kromosom lengkap yang akan berkembang menjadi embrio. Peran aktif spermatozoa sebagai gamet jantan sehingga penting dalam keberhasilan munculnya individu baru oleh karena itu di dalam reproduksi sering diperlukan adanya standart kualitas spermatozoa (Narato, 2009).
Spermatozoa yang normal memiliki kepala , leher, badan dan ekor. Bagian depan dinding kepala (yang mengandung asam dioxyribonucleik, di dalam kromosom), tampak sekitar 2/3 bagian tertutup acrosom. Tempat sambungan dasar acrosom dan kepala disebut cincin nucleus. Diantara kepala dan badan terdapat sambungan pendek, yaitu leher yang berisi centriole proximal , yang kadang-kadang dinyatakan sebagai pusat kenetik aktivitas spermatozoa. Bagian badan dimulai dari leher dan berlanjut ke cincin centriole. Bagian badan dan ekor mampu bergerak bebas, meskipun tanpa kepala. Ekor berupa cambuk, membantu mendorong spermatozoa untuk bergerak maju (Salisbury, 1985).

Gambar 36. Spermatozoa
Suatu proses pembentukan sel kelamin jantan berupa sel spermatozoa yang berlangsung di dalam tubuli seminiferi dalam testis disebut spermatogenesis. Spermatogenesis meliputi serangkaian tahapan dalam pembentukan spermatozoa yaitu (Frandson, 1992) :
1. Spermatogonia, sel-sel yang pada umumnya terdapat pada perifer tubulus seminiferus, jumlahnya bertambah secara mitosis, suatu tipe pembelahan yang mana sel-sel anakan hamper sama dengan sel induk.
2. Spermotosit Primer, dihasilkan oleh spermatogonia, mengalami migrasi menuju ke pusat tubulus dan mengalami pembelahan meiosis yang mana kromosom-kromosom bergabung dalam pasangan-pasangan dan kemudian satu dari masing-masing pasangan menuju ke masing-masing dari dua spermatosit sekunder. Jadi jumlah kromosom dibagi dalam spermatosit sekunder.
3. Dua Spermatosit Sekunder, yang terbentuk dari masing-masing spermatosit primer terbagi secara mitosis menjadi empat spermatid.
4. Masing-masing spermatid mengalami serangkaian perubahan nucleus dan sitoplasma (spermiogenesis) dari sel yang bersifat non motil menjadi sel motil (sel yang mampu bergerak) dengan membentuk flagelum (ekor) untuk membentuk spermatozoa.
5. Spermatozoa adalah sel kelamin jantan yang ukurannya sangat kecil dan memiliki bentuk yang khas yang tidak bertumbuh dan membelah diri.
Pada hakekatnya spermatozoa merupakan bagian dari semen. Semen tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu; spermatozoa dan sel-sel jantan yang bersuspensi di dalam suatu cairan yang disebut dengan plasma semen (Toelihere, 1982).
Semen berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti biji. Semen dalam ilmu reproduksi diartikan sekresi kelamin jantan yang secara normal di ejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi, dan dapat juga ditampung dalam tempat sementara sebagi inseminasi buatan (Partodiharjo, 1992).
Spermatozoa sendiri dihasilkan di dalam testis yang disebut dengan tubuli semiferus, sedangakan plasma semen adalah campuran seksresi yang dibuat oleh epididymis dan kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu kelenjar vasikularis dan kelenjar prostat. Reproduksi sperma atau plasma semen keduanya dikontrol dengan hormon (Toelihere, 1985).
Perbedaan anatomik kelenjar kelamin pelengkap pada berbagai jenis hewan menyebabkan pula perbedaan-perbedaan volume dan komposisi semen bagi spesies-spesies tersebut, seperti perbedaan bentuk kepala dari bulat pipih sampai bulat lancip (Iqbal, 2009).
Pada hewan yang tidak memiliki epididymis, testis mengambil fungsinya sebagai tempat perkembangan serta maturasi sperma. Pada hewan tersebut sperma yang matang, mempunyai motilitas dan mempunyai kemampuan untuk membuahi sel telur, sedangkan pada hewan yang mempunyai epididymis sperma yang berada pada tubulus seminiferus atau yang dikeluarkan dari testis sebelum motil, notilitasnya baru diperoleh setelah mengalami aktivasi atau pematangan fisiologia di dalam epididymis (Iqbal, 2009).

B. Proses Perkembangan Spermatozoa
Perkembangan spermatozoa bermula dari tiap spermatogonium bertambah ukurannya dan dinamakan spermatocyte primer. Pada spermatocyt primer, choromosom memendek dan menebal, bentuk spindel dan susunan tetrad secara random pada bidang equatorial. Kemudian dari tetrad menjadi 2 sel dengan n chromosom yang dinamakan spermatocyte sekunder atau 2 n chromatid. Spermatocyte primer kemudian pecah menjadi 4 spermatid masing-masing terdiri n chromosom, jumlahnya haploid. Kemudian diikuti pembelahan kedua, tiap spermatid mengalami metamorphose. Ini merupakan gamet yang masak disebut spermatozoa (Narato, 2009 ).

Gambar 37. Proses Perkembangan Spermatozoa (Narato, 2009)
Pembentukan spermatozoa dari spermatogonia di dalam testis disebut spermatogenesis. Proses ini meliputi poliferasi spermatogonia melalui pembelahan mitosis yang terulang dan tumbuh membentuk spermatocyte primer, kemudian melalui pembelahan reduksi (meiosis) membentuk spermatocyte sekunder. Sprmatozoit sekunder membelah menjadi spermatid yang mengadakan metamorphose menjadi gamet yang “motile” (dapat bergerak) dan mempunyai potensi fungsional yang dinamakan spermatozoa. Proses metamorphose spermatid sering dinamakan “spermatogenesis” (Narato, 2009).

1. Rete Testes
Rete testis adalah anastomosing halus jaringan tubulus terletak di hilus dari testis (mediastinum testis) yang membawa sperma dari tubulus seminiferus ke vasa efferentia. Pipa rete ektasia adalah suatu kelainan dari rete testis di mana banyak kista jinak yang hadir. Di daerah rete testis, sperma terkonsentrasi sebagai fluida yang diserap. Jika hal ini tidak terjadi, sperma yang masuk ke dalam epididimis tidak terkonsentrasi, mengakibatkan Ketidaksuburan (Anonim, 2009).
Perkembangan sel-sel germinal jantan terjadi di dalam kantong atau siste (cyste) yang dibuat oleh sel-sel sentroli. Spermatogenesis adalah perubahan bentuk dari sel kelamin jantan primodial yang disebut spermatogonia menjadi spermatozoa. Pembentukan siste berawal dengan pembelahan mitosis (Sjafi,dkk, 1993).
Dalam tahap awal terdiri dari massa pusat ditutupi oleh epitel permukaan. Di pusat massa, serangkaian kabel muncul. Tali ini berjalan bersama menuju masa depan hilus dan membentuk jaringan yang akhirnya menjadi rete testis. Pada saluran rete testes tersebut merupakan awal pembentukan sperma yang dimulai dari perkembangan kepala yang terdiri dari nukleus dan sentrilnya (Anonim, 2009).

Gambar 38. Bentuk Sperma pada Rete testes (Anonim, 2009).
Pada rete testes perkembangan spermatozoa berada pada fase golgi. Dimana pada fase ini terbentuk saat butiran proakrosom teerbentuk dalam alat Golgi spermatid. Butiran atau granula ini nanti bersatu mambentuk satu butiran akrosom. Butiran ini di lapisi membran dalam gembungan akrosom(acosomal vesicle). Gelembung ini melekat ke salah satu sisi inti yang bakal jadi bagian depan spermatozoon (Diah, 2009).
Rete testes menyalurkan semen ke duktuli efferent, saluran yang berpilin-pilin yang membentuk 5-8 badan bentuk kerucut dipuncak testes. Ada 2 macam sel epitel pada lapisan ke lumen ductuli efferent yaitu bersilia dan bermikrovilli memiliki banyak cekungan dipermukaan, karena banyak endositosis. Tubuli recti dan rete memiliki selapis sel epitel berbentuk batang mikrovilli. Beberapa sel itu juga ada yang berflagelum (Reni, 2006).

2. Caput Epididymis
Struktur : Pipa panjang berkelok, menghubungkan vasa eferens dan ductus deferens. Kepala epididimis melekat di ujung testis tempat vasa darah dan saraf masuk (Frandson, 1992)
Ductus epididymis, melilit banyak sekali, jika dibentangkan panjangnya mencapai 6 m. Lapisan epithel membuat cairan yang cocok bagi pematangan spermatozoa. Disebelah luar lapisan epithel lapisan otot polos dan yang paling luar sekali adalah lapisan jaringan ikat yang kaya dengan pembuluh kapiler. Dan lapisan yang paling luar sekali adalah lapisan jaringan ikat yang kaya dengan pembuluh kapiler (Reni, 2009).
Caput epididymis adalah kepala, yang merupakan tempat bermuara ductuli eferentes. Pada caput perkembangan spermatozoa berada pada fase tutup, dimana pada fase ini merupakan saat gembungan akrosom makin besar, membentuk lipatan tipis melingkupi bagian kutub yang bakal jadi bagian depan. Akhirnya terbentuk semacam tutup spermatozoon (Diah, 2009).

Gambar 39. Bentuk Sperma pada Caput Apididymis (Anonim, 2009).


3. Corpus Epididymis
Badan Epididymis atau corpus epididymis sejajar dengan axis longitudinal testis. Corpus epididymis memanjang dari apeks menurun sepanjang sumbu memanjang testis, merupakan saluran tunggal yang bersambungan dengan cauda epididymis. Panjang total dari epididymis diperkirakan mencapai 34 meter (Nuryadi, 2009).
Perkembangan spermatozoa yang terjadi pada corpus epididymis disebut sebagai fase acrosom. Dimana terjadi redistribusi bahan akrosom. Nukleoplasma berkondensasi, sementara spermatid memanjang. Akrosom kaya akan karbohidrat dan enzim hidrolisa : hyaluronidase, neurominidase, posfasatase asam dan protefaseyang aktivasnya mirip tripsin.. sementara inti spermatid memanjang dan menggepeng. Butiran nukleoplasma mengalami transformasin menjadi filamen-filamen (benang halus) yang pendek dan tebal serta kasar (Diah, 2009).
Perkembangan acrosom yang meliputi lebih dari setengah permukaan inti. Aparatus golgi pada spermatid membentuk sisterna yang mengandung granul-granul (butiran). Sisterna akan bergabung membentuk kantung akrosom bersama granul-granul. Kantung akrosom berikut granul akan bermigrasi menuju inti dan melekat ke membran inti, kemudian menyebar ke seluruh permukaan inti (Reni, 2006).
Selama fase ini spermatosid menempel pada sel sertoli. Masing-masing spermatid mengalami metamorfosis menjadi spermatozoon. Inti material memadat pada satu bagian dari sel membentuk kepala dari spermatozoon, sedangkan sisanya memanjang membentuk ekor spermatozoon. Acrosom, sebuah topi yang mengelilingi kepala spermatozoon,tersusun dari aparatus golgi spermatid. Selama pembentukan ekor spermatozoon, maka terjadi pelepasan cytoplasma, terlihat adanya cytoplasmic droplet pada daerah leher spermatozoa (Diah, 2009).




Gambar 40. Bentuk Sperma pada Corpus Epididymis (Anonim, 2009)


4. Cauda Epididymis
Cauda epididymis merupakan lanjutan dari corpus epididymis dan berada dibagian bawah testes yang selanjutnya bersambung dengan vas deferens. Pada bagian ekor (cauda) Epididymis berfungsi sebagai tempat penimbunan sperma karena disinilah yang cocok untuk penghidupan spermatozoa yang masih belum bergerak. Kondisi ini di dalam cauda Epididymis adalah optimal untuk mempertahankan kehidupan sperma yang berada dalam keadaan metabolisme sangat minim apabila Epididymis ini diikat sperma akan tetap hidup dan fertil di dalam Epididymis sampai 60 hari (Toelihere, 1977).
Cauda epididymis merupakan tempat penyimpanan dan penimbunan sperma yang secara berangsur, sejak dari caput hingga cauda sel epithel berstereocilia itu semakin rendah. Lapisan otot polos epididymis itu semakin tebal (Reni, 2009).
Pada kauda epididymis spermatozoa berada pada fase spermiosis, dimana sperma mengalami pembelahan miosis secara berulang-ulang hingga akhirnya terjadi pembentukan leher, lempeng tengah ekor. Diakhir miosis II, dua buah sentriol berpindah mendekati inti dengan posisi berlawanan dengan akrosom yang sedang berkembang. Satu sentriol (bagian proksimal) menempati posisi leher di bagian yang berlekatan ekor ke kepala. Sedangkan sentriol bagian distal mulai membentuk aksodema dari bakal ekor. Aksonema kemudian mengalami elongasi (perpanjangan) keluar dari sitoplasma. Sejalan dengan perkembangan ekor, sitoplasma akan mengalami perpindahan kea rah distal (Reni, 2009).

Gambar 41. Bentuk Sperma pada Cauda Epididymis (Anonim, 2009)
Disamping itu pada cauda epididymis juga terjadi fase pematangan. Dimana
terjadi perubahan bentuk spermatid sesuai dengan ciri spesies. Butiran inti akhirnya bersatu, dan inti menjadigepeng bentuk pyriform, sebagai ciri spermatozoa. Ketika akromosom terbentuk di bakal jadi bagian depan spermatozoa, sentriol pun bergerak ke kutub bersebrangan. Sentriol terdepan membentuk flagellu, sentriol yang satu lagi membentuk kelepak sekeliling pangkal ekor. Mitokondria membentuk cincin-cincin di bagian middle piece ekor dan seludang fibrosa di luarnya. Mikrotubul muncul dan berkumpul di bagian samping spermatid membentuk satu batang besar yang disebut manchette. Menshette ini menjepit inti sehingga jadi lonjong, sementara spermatid sendiri memanjang dan sitoplasma terdesak ke belakang inti (Yatim,1994).
5. Vas Deferens
Vas deferens (ductus deferens) adalah pipa berotot yang pada saat ejakulasi mendorong spermatozoa dari Epididymis ke duktus ejakulatoris dalam uretra prostatik. Vas deferens meninggalkan ekor Epididymis bergerak melalui kanal inguinal yang merupakan bagian dari korda spermatic dan pada cincin inguinal internal memutar ke belakang, memisah dari pembuluh darah dan saraf dari korda (Frandson, 1992).
Vas deferens berfungsi untuk mengangkut sperma dari ekor Epididymis ke uretra. Dindingnya mengandung otot-otot licin yang penting dalam mekanisasi pengangkutan semen waktu ejakulasi. Selanjutnya dua vas deferens mendekati uretra, bersatu dan kemudian ke dorso caudal kandung kemih, serta dalam lipatan peritoneum yang disebut lipatan urogenital (genital fold) yang dapat disamakan dengan ligamentum lebar pada betina (Frandson, 1992).
Vas deferens, berlumen lebih besar dan berdinding lebih tebal dari pada lapisan sebelumnya. Lapisan terdalam disebut sebagai lapisan mukasa yang membentuk lapisan longitudinal. Terdiri dari sel spithel beberapa lapis. Yang paling dalam, ke lumen berbentuk batang dan berstereosilia. Lapisan propria, jaringan ikat di bawah mukosa, mengandung jaringan serat elastis. Vas deferens meninggalkan skrotum lewat integunal canal, dalam spermatid cord. Inetgral canal adalah lubang yang menghubungkan rongga abdomen dengan scrotum, yang secara tertutup dan hanya di lewati spermatid cord (Reni, 2006).
Pada vas deferens perkembangan spermatozoa secara bertahap menysusun diri di seputar bagian tengah (mid-piece) dari ekor sperma. Pada saluran reproduksi jantan spermatid berbentuk bulat seperti sel pada umumnya, akan tetapi sel spermatid tersebut mengalami serangkaian perubahan morfologis sehingga menghasilkan spermatozoa. Proses ini dikenal dengan nama spermiogenesis. Perubahan utama yang terjadi meliputi kondensasi kromatin inti, pembentukan ekor sperma dan perkembangan tudung akrosom. Dan pada akhirnya terbentuk spermatozoa yang telah matang sehingga siap untuk de ejakulasikan (Reni, 2009).
Pada saluran vas deferens terjadi penampungan spermatozoa sehingga nantinya akan terbentuk semen. Semen terdiri atas cairan yang berasal dari vas deferens (kira-kira 10% dari keseluruhan sperma), cairan dari vestikula seminalis (kira-kira 60%), cairan dari kelenjar prostat (kira-kira 30%), dan sejumlah kecil cairan dari dari kelenjar mukosa. Cairan prostat membuat semen terlihat seperti susu, sementara cairan dari vestikula seminalis dan dari kelenjar mukosa membuat semen menjadi agak kental (Diah, 2009).

Gambar 42. Bentuk Sperma pada Vas Deferens (Anonim, 2009)


Pewarnaan Sperma
Pewarna eosin digunakan karena mempunyai sifat asam sehingga mampu mendeteksi sperma yang bersifat basa hidup atau tidak. Jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup maka cairan eosin tidak dapat masuk kesperma, dikarenakan selaput sperma yang sama asamnya dengan eosin sehingga saling tolak-menolak. Sedangkan jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ketubuh sperma. Setelah ditetesi eosin, maka preparat diletakkan dibawah mikroskop, diamati viabilitasnya (ketahanan hidup) dengan perbesaran 100x. Setelah didapatkan fokus kemudian diamati dan difoto menggunakan kamera digital dan diperoleh hasil pewarnaan sperma (Narato, 2009).
Viabilitas sperma menunjukan proporsi sperma yang hidup, dapat diketahui dengan cara pewarnaan eosin. Penilaian viabilitas sperma dapa dilakukan dengan pewarnaan eosin 0,5% (59/ liter eosin), di dalam larutan NaCl 0,9%. Prinsipnya, sperma yang mati akan menyerap eosin sehingga berwarna merah muda. Faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas dari sperma yaitu kemampuan spermatozoa hidup secara normal setelah keluar dari testis hanya berkisar 1-2 menit. Selain itu, faktor suhu juga dapat mempengaruhi daya hidup dari sperma. Kemampuan hidup (viabilitas) spermatozoa sangat dipengaruhi oleh suhu dan secara umum akan hidup lebih lama dalam suhu rendah (Narato, 2009)
Sperma yang masih hidup mempunyai lapisan penutup tubuh yang bersifat asam. Jika sperma yang masih hidup tersebut diberi eosin maka larutan tidak bisa masuk ke dalam tubuh sperma, karena sama-sama bersifat asam. Namun pada sperma yang telah mati maka lapisan luar sperma akan rusak dan sperma bersifat basa sehingga sperma berwarna merah (Narato, 2009).
Dengan teknik pewarnaan, selain dapat melihat viabilitas atau motilitas sperma pada saluran reproduksi, juga dapat mengetahui pergerakan seluruh bagian spermatozoa. Berdasarkan penelitian spermatozoa yang diambil dari caput, corpus dan cauda epididymis, dinyatakan bahwa gerakan paling kuat beradasal dari caput epididymis dan yang paling lemah adalah sperma yang berasal dari caput epididymis. Disamping pada caput epididymis mengandung spermatozoa yang lebih muda dibanding dengan spermatozoa pada cauda epididymis yang lebih tua dan telah masak (Salisbury, 1985).

Gambar 43. Hasil Pewarnaan Pada Saluran Reproduksi Jantan (A. Pada Rete Testes ; B. Pada Caput Epididymis, C. Pada Corpus Epididymis, D. pada Cauda Epididymis dan E. pada Vas deferens) (Anonim, 2009)


C. Mekanisme Hormonal

Gambar 44. Skema Mekanisme Hormonal

Hipotalamus menghasilkan hormone Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang menstimulasi hipofisa anterior untuk mensekresikan FSH dan LH. Dimana LH menstimulasi pelepasan testosterone dari sel Leydig pada Testis. Testosteron berfungsi untuk meningkatkan libido akan tetapi testosterone memiliki umpan balik negative terhadap hipotalamus dan hipofisa untuk menekan pelepasan hormone FSH dan LH. Sedangkan pada FSH mempengaruhi sel-sel Sertoli untuk mensekresikan Inhibin yang memiliki umpan balik negative terhadap hipofisa anterior yang menekan pelepasan FSH dan LH (Sonjaya, 2008).
FSH mempengaruhi sel-sel Sertoli untuk mensekresikan androgen binding protein (ABP) dan inhibin. ABP merupakan pembawa testosterone, yang membuatnya lebih mudah mempengaruhi proses spermatogenesis di tubuli seminiferi lalu membawanya melalui rete testis dan vasa efferentia menuju epididimis, ABP diserap di epididimis. Mekanisme control umpan balik bekerja antara testis, hipotalamus dan hipofisa anterior dalam pengaturan pelepasan gonadotropin (FSH dan LH) dan steroid gonadal (testosterone). Testosteron memberikan efek umpan balik negative pada hipotalamus dan hipofisa anterior. Konsentrasi tinggi testosterone akan menghambat pelepasan GnRH, FSH dan LH, sedangkan konsentrasi rendah sebaliknya (Sonjaya, 2008).
Spermatogonium berkembang menjadi sel spermatosit primer. Sel spermatosit primer bermiosis menghasilkan spermatosit sekunder, spermatosit sekunder membelah lagi menghasilkan spermatid, spermatid berdiferensiasi menjadi spermatozoa masak. Bila spermatogenesis sudah selesai, maka ABP testosteron (Androgen Binding Protein Testosteron) tidak diperlukan lagi, sel sertoli akan menghasilkan hormon inhibin untuk memberi umpan balik kepada hipofisis agar menghentikan sekresi FSH dan LH ( Hazriah, 2009 ).
Spermatozoa akan keluar melalui uretra bersama-sama dengan cairan yang dihasilkan oleh kelenjar vesikula seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar cowper. Spermatozoa bersama cairan dari kelenjar-kelenjar tersebut dikenal sebagai semen atau air mani. Pada waktu ejakulasi, seorang laki-laki dapat mengeluarkan 300 - 400 juta sel spermatozoa (Hazriah, 2009 ).
Proses spermatogenesis distimulasi oleh sejumlah hormon, yaitu (Eni, 2009) :
a. Testoteron
Testoteron disekresi oleh sel-sel Leydig yang terdapat di antara tubulus seminiferus. Hormon ini penting bagi tahap pembelahan sel-sel germinal untuk membentuk sperma, terutama pembelahan meiosis untuk membentuk spermatosit sekunder.
Hormon testosteron sangat berpengaruh terhadap kesuburan kelenjar asesorius dan ciri khas kelamin jantan (secondary sex characteristic). Kastratsi sebelum datangnya dewasa kelamin menyebabkan perkembangannya kelenjar tersebut berhenti, sedangkan kastrasi pada umur dewasa menyebabkan kemunduran secara bertahap kelenjar asesorius. Secara histologi telah dibuktikan bahwa sel kelenjar mengecil dan aktivitas bersekresi mundur. Selanjutnya parenkim kelenjar mengalami involusi dan digantikan dengan jaringan ikat ( Yatim, 1990).
Sel leidig menghasilkan hormon testosteron yang berfungsi ( Yatim, 1990).:
• mengatur aktivitas kelenjar assesorius, terutama kelenjar prostat.
• Memelihara tanda khas jantan (secondary sex characteristics)
• Bersama dengan hormon FSH dan Hiphofisa mengatur aktivitas spermatogenesis
b. LH (Luteinizing Hormone)
LH disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. LH berfungsi menstimulasi sel-sel Leydig untuk mensekresi testoteron.
Hormon LH atau ICSH mengatur aktivitas sel leidig pengaruh ini semakin jelas bila sekaligus ditambah dengan FSH. Di dalam tubuh hewan memang terjadi inter-relasi antara kelenjar endokrin tertentu dalam mengatur aktivitas alat reproduksi, misalnya kelenjar hipophisa, adrenal dan testis sendiri ( Yatim, 1990).
c. FSH (Follicle Stimulating Hormone)
FSH juga disekresi oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior dan berfungsi menstimulasi sel-sel sertoli. Tanpa stimulasi ini, pengubahan spermatid menjadi sperma (spermiasi) tidak akan terjadi.
d. Estrogen
Estrogen dibentuk oleh sel-sel sertoli ketika distimulasi oleh FSH. Sel-sel sertoli juga mensekresi suatu protein pengikat androgen yang mengikat testoteron dan estrogen serta membawa keduanya ke dalam cairan pada tubulus seminiferus. Kedua hormon ini tersedia untuk pematangan sperma.
e. Hormon Pertumbuhan
Hormon pertumbuhan diperlukan untuk mengatur fungsi metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara khusus meningkatkan pembelahan awal pada spermatogenesis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tahap Perkembangan Spematozoa (Tanpa Pewarnaan)
1. Rete Testis
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa rete testes merupakan tempat awal perkembangan spermatozoa, dimana sperma tersebut dibuat oleh sel-sel sentroli yang mengalami pembelahan mitosis. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) yang menyatakan bahwa perkembangan sel-sel germinal jantan terjadi di dalam kantong atau siste (cyste) yang dibuat oleh sel-sel sentroli. Spermatogenesis adalah perubahan bentuk dari sel kelamin jantan primodial yang disebut spermatogonia menjadi spermatozoa. Pembentukan siste berawal dengan pembelahan mitosis.
Pada tahap awal perkembangannya pada rete testes, terjadi pemadatan inti dan terjadi perubahan kondensasi kromatin yang ditutupi oleh lapisan epithel. Selanjutnya terjadi perkembangan kepala sperma yang terdiri dari nukleus serta sentriol. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2009) bahwa dalam tahap awal terdiri dari massa pusat ditutupi oleh epitel permukaan. Pada saluran rete testes tersebut merupakan awal pembentukan sperma yang dimulai dari perkembangan kepala yang terdiri dari nukleus dan sentrilnya.
Selain itu pada rete testes juga terjadi pembentukan butiran preakrosom yang nantinya akan mengalami metamorfosis menjadi akrosom. Hal ini sesuai dengan pendapat Diah (2000) bahwa pada rete testes perkembangan spermatozoa berada pada fase golgi. Dimana pada fase ini terbentuk saat butiran proakrosom teerbentuk dalam alat Golgi spermatid. Butiran atau granula ini nanti bersatu mambentuk satu butiran akrosom. Butiran ini di lapisi membran dalam gembungan akrosom(acosomal vesicle), yang nantinya membentuk spermatozoon.
2. Caput Epididymis
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada preparat terlihat sperma yang memiliki butiran sitoplasma pada bagian leher sperma yang merupakan bentukan dari massa protoplasma. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisburiy (1985) bahwa massa protoplasma yang berupa butiran sitoplasma biasa berada pada bagian leher sperma tozoa dan akan bergerak menuju bagian ekor dan secara normal akan terlepas sebelum diejakualasikan, pada waktu spematozoa itu berada dalam epididimis bagian kepala.
Pada caput epididymis terlihat perkembangan preacrosom menjadi acrosom dimana terlihat bahwa acrosom yang semakin membesar. Acrosom tersebut nantinya akan menjadi pelindung bagi kepala sperma. Hal ini sesuai dengan pendapat Diah (2009) bahwa Caput epididymis adalah kepala, yang merupakan tempat bermuara ductuli eferentes. Pada caput perkembangan spermatozoa berada pada fase tutup, dimana pada fase ini merupakan saat gembungan akrosom makin besar, membentuk lipatan tipis melingkupi bagian kutub yang bakal jadi bagian depan. Akhirnya terbentuk semacam tutup spermatozoon
Bentuk spematozoa pada bagian ini lebih sempurna jika dibandingkan dengan bentuk sperma pada bagian rete testes., hal ini terjadi karena bagian epididimis terjadi proses pematangan begitu pula dengan protoplasmanya yang berpindah ke bagian distal. Hal ini sesuai dengan pendapat Partodiharjo (1992) bahwa sperma menjadi matang di dalam bagian epididimis dan sitoplasmanya berpindah dari pangkal kepala ke ujung bawah bagian tengah sperma. Pematangan sperma dicapai karena adanya pengaruh sekresi dari sel-sel epitel.
3. Corpus Epididymis
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada preparat terlihat bentuk spematozoa dalam epididmis bagian korpus, dimana butir pada sitoplasma sedikit lebih jauh berada menjauhi bagian kepala atau menuju ke bagian ekor. Hal ini berati bahwa proses pematangan spermatozoa dan terus berjalan melewati corpus epididymis yang ditandai dengan letak sitoplasma pada bagian ekor. Hal ini sesuai dengan pendapat Nuryadi (2009) bahwa selama perjalan melalui epididmis sperma mengalami pematagan yang ditandai dengan adanaya perpindahan sitoplasma ke bagian ekor.
Lebih lanjut dikatakan oleh Diah (2009) bahwa masing-masing spermatid mengalami metamorfosis menjadi spermatozoon. Inti material memadat pada satu bagian dari sel membentuk kepala dari spermatozoon, sedangkan sisanya memanjang membentuk ekor spermatozoon. Acrosom, sebuah topi yang mengelilingi kepala spermatozoon,tersusun dari aparatus golgi spermatid. Selama pembentukan ekor spermatozoon, maka terjadi pelepasan cytoplasma, terlihat adanya cytoplasmic droplet pada daerah leher spermatozoa.
Bentuk spermatozoa yang ada pada bagian ini lebih sempurna di bandingkan pada bagian yang lain dan juga lebih subur. Hal ini sesuai dengan pendapat Tolihere (1977) bahwa sperma di daerah korpus tidak jauh beda dengan sperma pada bagian cauda. Persentase butiran protoplasma proksimal jauh lebih tinggi di dalam corpus dibandingkan dengan bagian caput. Spermatozoa yang diambil langsung dalam corpus adalah 2-10 kali lebih subur dari pada sperma pada caput epididymis.

4. Cauda Epididymis
Berdasrkan pengamatan yang dilakukan pada preparat terlihat bentuk spermatozoa telah mencapai kedewasaan yang maksimal , ditandai dengan sudah tidak terlihatnya massa protoplasma berupa butiran-butiran cytoplasma pada bagian ekornya meskipun masih ada sperma yang mempunyai butiran cytoplasma tapi tidak terlalu banyak . Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) bahwa selama proses pematangan dalam epididmis butiran-butian cytoplasma akan bergerak dari bagian leher sperma menuju ke bagian ekor dan menghilangkan sebelum diejakuasikan. Pengambilan sampel spermatozoa pada bagian cauda epididimis yang menjauhi testes menunjukkan tidak ada lagi butiran-butiran cytoplasma.
Jumlah spermatzoa pada bagian ini sudah banyak karena mempunyai cauda merupakan tempat penyimpanan sperma yang optimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Partohadiharjo (1992) bahwa bagian ekor epididmis itu merupakan penyimpanan spermatozoa jauh lebih tingi dibandingkan tempat lainnya.
Spermatozoa yang berada pada bagian ini merupakan sperma yang siap untuk membuahi. Hal ini sesuai pendapat Hardjopranjoto (1988), bahwa ekor dari epididimis dibagi menjadi 2 bagian : bagian atas yang letaknya dekat dengan testis dan mengandung spermatozoa yang lebih muda, bagian bawah yang langsung menyambung dengan vas deferens dan mengandung spermatozoa yang lebih tua dan masak.

5. Vas Deferens
Berdasarakan pengamatan yang dilakukan pada preparat terlihat bentuk sperma yang sempurna dimana tidak ada lagi butiran cytoplasma serta mempunyai ekor yang panjang , dimana sperma ini menandakan siap untuk membuahi ovum. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) bahwa bagian ekor atau cauda epididymis merupakan bagian bawah yang langsung menyambungkan dengan vas deferens dan mengandung permatozoa yang lebih tua dan masak di mana sperma tersebut sudah siap untuk membuahi ovum.
Vas deferens merupakan saluran yang berfungsi untuk mengangkut sperma yang telah tertimbun pada cauda epididymis, kemudian disalurkan menuju ke ureter pada saat terjadi ejakulasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) bahwa Vas deferens berfungsi untuk mengangkut sperma dari ekor Epididymis ke uretra. Dindingnya mengandung otot-otot licin yang penting dalam mekanisasi pengangkutan semen waktu ejakulasi.
Lebih lanjut diungkapkan oleh Diah (2009) bahwa pada saluran vas deferens terjadi penampungan spermatozoa sehingga nantinya akan terbentuk semen. Semen terdiri atas cairan yang berasal dari vas deferens (kira-kira 10% dari keseluruhan sperma), cairan dari vestikula seminalis (kira-kira 60%), cairan dari kelenjar prostat (kira-kira 30%), dan sejumlah kecil cairan dari dari kelenjar mukosa. Cairan prostat membuat semen terlihat seperti susu, sementara cairan dari vestikula seminalis dan dari kelenjar mukosa membuat semen menjadi agak kental.

B. Tahap Perkembangan Spermatozoa (dengan Pewarnaan)
1. Rete Testis
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa rete testes merupakan fase awal perkembangan spermatozoa, dimana bentuk sperma pada bagian tersebut belum sempurna. Olehnya itu jumlah sperma yang masih hidup juga lebih banyak dibandingkan dengan jumlah yang telah mati. Hal ini terlihat pada sedikitnya bagian preparat yang terwarnai oleh eosin. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) yang menyatakan bahwa untuk melakukan uji motilitas maka dapat dilakukan pewarnaan eosin, diamana jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup maka cairan eosin tidak dapat masuk kesperma, Sedangkan jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ketubuh sperma. Sehingga akan berwarna kemerahan.
Ada berbagai faktor yang dapat menyebabkan matinya spermatozoa di dalam saluran reproduksi, diantaranya yaitu adanya perbedaan kemampuan dari masing-masing sperma untuk hidup disamping itu dapat pula disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi karena sperma hanya dapat hidup pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas dari sperma yaitu kemampuan spermatozoa hidup secara normal setelah keluar dari testis hanya berkisar 1-2 menit. Selain itu, faktor suhu juga dapat mempengaruhi daya hidup dari sperma. Kemampuan hidup (viabilitas) spermatozoa sangat dipengaruhi oleh suhu dan secara umum akan hidup lebih lama dalam suhu rendah.

2. Caput Epididymis
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka dapat diketahui pada caput epididymis terjadi perkembangan yang lebih lanjut dari spermatozoa tersebut. Pada caput epididymis terlihat perkembangan preacrosom menjadi acrosom dimana terlihat bahwa acrosom yang semakin membesar. Acrosom tersebut nantinya akan menjadi pelindung bagi kepala sperma. Hal ini sesuai dengan pendapat Diah (2009) bahwa Caput epididymis adalah kepala, yang merupakan tempat bermuara ductuli eferentes. Pada caput perkembangan spermatozoa berada pada fase tutup, dimana pada fase ini merupakan saat gembungan akrosom makin besar, membentuk lipatan tipis melingkupi bagian kutub yang bakal jadi bagian depan. Akhirnya terbentuk semacam tutup spermatozoon.
Dari pewarnaan eosin pada sperma yang berasal dari caput epididymis terlihat bahwa jumlah sperma yang mati masih dalam jumlah yang sedikit, hal ini terlihat dengan sedikitnya sperma yang terwarnai. Dimana sperma yang telah mati akan bersifat basa sehingga dengan pemberian pewarna eosin yang sifatnya asam akan menyebabkan daya tarik menarik dan akhirnya sperma yang mati akan terwarnai. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) bahwa pewarna eosin digunakan karena mempunyai sifat asam sehingga mampu mendeteksi sperma yang bersifat basa hidup atau tidak. Jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup maka cairan eosin tidak dapat masuk kesperma, dikarenakan selaput sperma yang sama asamnya dengan eosin sehingga saling tolak-menolak. Sedangkan jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ketubuh sperma.

3. Corpus Epididymis
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa pada corpus epididymis terbentuk sperma yang lebih sempurna, dimana spermatid mengalami metamorphosis dan membentuk kepala, leher dan ekor yang tersusun dari materi seluler. Hal ini sesuai dengan pendapat oleh Diah (2009) bahwa masing-masing spermatid mengalami metamorfosis menjadi spermatozoon. Inti material memadat pada satu bagian dari sel membentuk kepala dari spermatozoon, sedangkan sisanya memanjang membentuk ekor spermatozoon. Acrosom, sebuah topi yang mengelilingi kepala spermatozoon,tersusun dari aparatus golgi spermatid. Selama pembentukan ekor spermatozoon, maka terjadi pelepasan cytoplasma, terlihat adanya cytoplasmic droplet pada daerah leher spermatozoa.
Dari pewarnaan spermatozoa pada bagian corpus epididymis, maka terlihat jumlah sel sperma yang mati atau tingkat motilitas/viabilitas pada bagian ini lebih tinggi dari pada saluran yang lainnya. Hal ini disebabkan karena daya tahan sperma yang menurun setelah bergerak dari rete testes disamping itu terjadi persaingan antara sperma yang lain untuk mencapai ejakulasi dan membuahi ovum sehingga akhirnya banyak sperma yang mati. Hal ini terlihat dengan jumlah sperma yang terwarnai lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa berdasarkan penelitian spermatozoa yang diambil dari caput, corpus dan cauda epididymis dinyatakan bahwa semakin lama maka jumlah spermatozoa yang hidup akan berkurang tetapi pergerakan sperma akan semakin kuat.

4. Cauda Epididymis
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan tehadap sperma yang terdapat pada cauda epididymis maka dapat diketahui bahwa spermatozoa yang terdapat pada cauda lebih matang atau lebih tua dibanding dengan sperma yang terdapat pada bagian epididymis yang lainnya. Hal ini terlihat dari bentuk sperma pada cauda epididymis yang lebih sempurna dibandingkan bagian yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa pada caput epididymis mengandung spermatozoa yang lebih muda dibanding dengan spermatozoa pada cauda epididymis yang lebih tua dan telah masak.
Pewarnaan eosin pada sperma selain dapat melihat tingkat viabilitas atau motilitasnya juga dapat melihat pergerakan sperma yang telah mati. Dimana pergerakan sperma pada bagian cauda epididymis lebih kuat dibandingkan dengan bagian lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985), yang menyatakan bahwa dengan teknik pewarnaan, selain dapat melihat viabilitas atau motilitas sperma pada saluran reproduksi, juga dapat mengetahui pergerakan seluruh bagian spermatozoa. Selanjutnya Salisbury (1985) juga mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian spermatozoa yang diambil dari caput, corpus dan cauda epididymis, dinyatakan bahwa gerakan paling kuat beradasal dari caput epididymis dan yang paling lemah adalah sperma yang berasal dari caput epididymis.

5. Vas Deferens
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada spermatozoa yang terdapat pada bagian vas deferens, maka dapat diketahui bahwa keadaan sperma pada bagian ini telah sempurna dan telah siap untuk diejakulasikan karena telah tercampur dengan materi-materi lain hasil sekresi kelenar pelengkap sehingga membentuk semen. Hal ini sesuai dengan pendapat Diah (2009) yang menyatakan bahwa pada saluran vas deferens terjadi penampungan spermatozoa sehingga nantinya akan terbentuk semen. Semen terdiri atas cairan yang berasal dari vas deferens (kira-kira 10% dari keseluruhan sperma), cairan dari vestikula seminalis (kira-kira 60%), cairan dari kelenjar prostat (kira-kira 30%), dan sejumlah kecil cairan dari dari kelenjar mukosa.
Jumlah spermatozoa yang terdapat pada bagian ini semakin sedikit terlihat dari bagian yang terwarnai oleh eosin yang lebih banyak. Hal ini disebabkan karena jumlah sperma yang mati meningkat sehingga sperma tersebut menyerap zat warna dan akhirnya berwarna kemeraha. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) bahwa jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup maka cairan eosin tidak dapat masuk kesperma, dikarenakan selaput sperma yang sama asamnya dengan eosin sehingga saling tolak-menolak. Sedangkan jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ketubuh sperma.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat di tarik kesimpulan bahwa :
1. Pada rete testes terjadi perkembangan awal spermatozoa, dimana bentuknya belum sempurna disamping itu jumlah sperma yang hidup lebih banyak daripada jumlah sperma yang telah mati.
2. Perkembangan spermatozoa pada caput epididymis merupakan fase tutup ditandai dengan terbentuknya preakrosom yang akan berkembang menjadi akrosom dan pelindung kepala sperma. Sperma pada caput epididymis masih muda dengan jumlah motilitasnya yang masih rendah.
3. Perkembangan spermatozoa yang terjadi pada corpus epididymis disebut sebagai fase acrosom. Dimana terjadi redistribusi bahan akrosom. Bentuk sperma lebih sempurna dengan viabilitas dan pergerakan sperma semakin meningkat.
4. Pada cauda epididymis spermatozoa berada pada fase spermiosis, dimana sperma mengalami pembelahan miosis secara berulang-ulang hingga akhirnya terjadi pembentukan leher, lempeng tengah ekor sehingga terjadi pematangan sperma. Bentuk sperma menjadi sempurna dengan pergerakan yang kuat tetapi motilitas juga meningkat.
5. Pada vas deferens terbentuk sperm ayang sempurna dan matang yang siap untuk diejakulasikan bersama cairan-cairan kelenjar pelengkap dan akan membentuk semen, yang akan disemprotkan ke ureter pada saat ejakulasi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Proses Perkembangan Spermatozoa. http://translate.googleuser content.com/en.wikipedia.org/perkembangan_spermatozoa.html.
Diah. 2009. Sistem reproduksi jantan. http://diahayu.web.ugm.ac.ic/wordpress/ sistem-reproduksi-jantan.html.
Eni. 2009. Proses Spermatogenesis, Proses Ereksi, Ejakulasi, Hormonal Pada Genital Jantan Dan Kelainan Nya. http://enifreaks.blogspot.com/06/proses-spermatogenesis&ereksi.html.
Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada Univercity. Yogyakarta.
Hizriah Alief . 2009. Sistem Reproduksi Jantan. http://izrablog.blogspot.com/2009_ 06_17_archive.html
Iqbalali. 2009. Spermatozoa. http://iqbalali.wordpress.com/2009/05/16/Spermatozoa. html.
Muchtaromah, Bayyinatul. 2006. Panduan Praktikum SPH II. UIN : Malang
Narato. 2009. Teknik Pengawetan dan Pewarnaan Sperma. http://sma4rtzyoulyz. blogspot.com/2009_06_01_archive.html.
Nuryadi. 2009. Dasar-dasar Reproduksi Ternak. http://changes-theworld.blogspot. com/2009_05_01_archive.html. Diakses, 07 Oktober. 2009.
Partodihardjo. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Produksi Mutiara. Jakarta.
Reni Kurniati,dkk. 2006. Diktat Kuliah Reproduksi dan Embriologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Mulawarman, Samarinda. http://www.scribd.com/doc/9739606/Diktat-Kuliah-Reproduksi-Embriologi
Salisbury. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada Univercity. Yogyakarta.
Toelihere. 1977. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
Yatim, Wildan. 1994. Reproduksi dan Embryologi. Bandung : Tarsito

Tidak ada komentar:

Posting Komentar