Sabtu, 08 Oktober 2011

mengukur produksi ternak sapi

I. MENGUKUR PRODUKSI TERNAK SAPI Sapi Pedaging. Produksi ternak sapi pedaging sebelum di potong dapat diukur dari dimensi tubuhnya
Pengukuran panjang kepala di ukur pada cermin hidung (planum nasolabiale) sampai perbatasan Intercornuale dorsal garis median. Pengukuran panjang badan di ukur dari garis tegak tuberkulum major humeri sampai tuber coxae Pengukuran lingkar dada dengan jalan melingkari dada dibelakang sendi siku Pengukuran Lingkar Flank dengan jalan melingkari pada abdomen di depan tuber coxae. Produksi Ternak sapi pedaging setelah dipotong Sebelum Sapi Disembelih Sebelum sapi disembelih dilakukan identifikasi dengan mencatat nomor telinga (ear tag) dan karakteristik spesifik sapi. Daftar isian tabulasi data dapat dilihat pada Lampiran 2. Data sekunder diperoleh dengan mencatat Surat Tanda Pengiriman Ternak dari perusahaan penggemukan dan Dinas Peternakan. Sebelum disembelih, sapi dipuasakan selama 24 jam untuk mengurangi variasi bobot potong akibat isi saluran pencernaan. Sapi kemudian ditimbang dengan timbangan merek Berkel kapasitas 1000 kg (ketelitian 500 g), untuk menentukan bobot potong. Sapi yang akan disembelih digiring dengan tongkat penyetrum ke dalam cattle yard, diantri dan dicatat urutan nomor telinga, dimandikan dengan menyemprotkan air keseluruh permukaan tubuh. Penyembelihan, Eviscerasi dan Pembelahan karkas Secara berurut sapi dihalau masuk ke ruang pemingsanan (knocking box) selanjutnya dipingsankan (stunning) dengan menggunakan alat cash knocker yang dipukulkan tepat dipertengahan dahi di antara kedua kelopak mata. Penyembelihan dilakukan dengan memotong bagian leher dekat tulang rahang bawah, sehingga vena jugularis, oesophagus dan trachea terpotong sempurna. Penusukan jantung dilakukan disekitar dada untuk mengeluarkan darah secara sempurna (sticking). Ujung oesophagus diikat (rodding the weasand) untuk mencegah cairan rumen keluar mengotori karkas. Setelah sapi benar-benar mati, kaki belakang sebelah kanan diikatkan dengan rantai pada ujung katrol listrik dan kemudian secara perlahan ditarik ke atas sampai menggantung sempurna pada rel penggantung (roller dan shackling chain), kemudian didorong ke tempat pengulitan (skinning) Selanjutnya diukur tebal lemak pangkal ekor (anal fold) yang terdiri dari kulit dan lemak, diukur pada lokasi antara tulang ischium dengan pangkal ekor dengan menggunakan kaliper (Gambar 4). Kaki belakang dilepas dengan gunting listrik Kaki depan dan belakang dilepaskan pada sendi Carpometacarpal dan sendi Tarso-metatarsal, keempat kaki tersebut ditimbang sebagai bobot kaki depan dan belakang (legging). Penggantungan dilakukan pada tendon achilles. Kepala dilepas dari tubuh pada sendi occipito-atlantis (heading). Pada saat ini umur sapi ditentukan dengan melihat kondisi gigi, kepala ditimbang sebagai bobot kepala. Pengulitan (skinning) dilakukan dengan membuat irisan dari anus sampai leher melewati bagian perut dan dada, juga dari arah kaki belakang dan kaki depan menuju irisan tadi. Kulit dilepas dari arah ventral perut dan dada ke arah dorsal dan punggung. Untuk mempercepat proses pengulitan digunakan mesin penarik Hide Puller yang menarik dari arah hindshank ke arah leher dan foreshank, selanjutnya ditimbang sebagai bobot kulit. Pengeluaran isi rongga perut dan dada dilakukan dengan menyayat dinding abdomen sampai dada. Sebelumnya, rectum dibebaskan dan diikat untuk mencegah feses keluar, mengotori karkas dan mengurangi penyusutan. Pada saat ini ekor dipisahkan dari tubuh dan ditimbang. Selanjutnya organ kelamin (penis pada jantan serta ambing dan uterus pada betina) dikeluarkan, yang dilanjutkan dengan pengeluaran lemak abdomen dan isi perut (eviscerasi) yang terdiri dari: lambung (rumen, retikulum, omasum dan abomasum), usus, limpa dan ginjal. Lambung dan usus dipisahkan dan dibersihkan pada tempat tersendiri guna menghindari menyebarnya cairan rumen dan feses. Lemak yang menyelimuti rongga pelvis juga dikeluarkan dan ditimbang sebagai lemak pelvis. Lemak yang menyelimuti kedua buah ginjal (ren) dipisahkan dan timbang sebagai bobot lemak ginjal. Untuk memudahkan pengeluaran tenggorokan, paru-paru, jantung, hati dan empedu, rongga dada dibuka dengan gergaji listrik kecil merek Jarvis Brisket Jaw tepat pada bagian ventral pada tulang dada (sternum). Lemak yang menyeliputi jantung juga dipisahkan dan dicatat sebagai lemak jantung. Karkas segar kemudian dibelah simetris (splitting) dengan menggunakan gergaji listrik besar (power saw) merek Kent Master sepanjang tulang belakang dari sacral (Ossa vertebrae sacralis) sampai leher (Ossa vertebrae cervicalis). Belahan karkas dibersihkan dengan menyemprotkan air untuk menghilangkan sisa-sisa darah dan kotoran lainnya. Selanjutnya karkas diberi label dan ditimbang dengan timbangan sebagai bobot karkas segar/panas sebelah kiri dan kanan. Karkas disimpan dalam chilling room pada suhu 2-5oC selama ±24 jam dengan kelembaban 85-95% dengan kecepatan pergerakan angin sekitar 0.2 m/detik. Diagram alir proses pemotongan sapi di PT. Celmor Perdana Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.39 Deboning Karkas Sebelum dilakukan pembentukan potongan komersial karkas (wholesale cuts), masing-masing separuh karkas ditimbang sebagai bobot karkas dingin/layu. Selama pembentukan potongan komersial karkas dilakukan pemisahan tulang dari daging dan lemak (deboning). Potongan komersial karkas utuh (wholesale cuts) mengacu pada prosedur Australian Meat and Livestock Corporation (1991). Seperempat bagian depan (forequarter) meliputi chuck, blade, cuberoll, brisket dan shin. Seperempat bagian belakang (hindquarter) meliputi striploin atau sirloin, tenderloin, rump, silverside, topside, knuckle, flank dan shank. Semua potongan komersial karkas utuh kemudian ditimbang dengan timbangan listrik dan dicatat sebagai bobot potongan komersial karkas utuh. Batas antara seperempat bagian karkas depan dengan bagian belakang adalah pada ruas tulang rusuk 12 dan 13. . Pengukuran Tebal lemak, Luas Urat Daging Mata Rusuk dan Butt Shape Pengukuran karkas dilakukan terhadap belahan karkas kiri. Sebelum dilakukan pemisahan daging dari karkas dingin, terlebih dahulu dilakukan pengukuran tebal lemak subkutan yang menutupi urat daging mata rusuk (loin eye area), dan konformasi butt shape. Pengukuran tebal lemak dilakukan pada posisi ¾ dari medial ke arah lateral dengan menggunakan mistar plastik transparan. Posisi pengukuran tebal lemak rusuk dapat dilihat pada Gambar 7. Pengukuran tebal lemak rump P8 dilakukan di daerah rump yaitu pada titik perpotongan antara garis vertikal dari dorsal tuberosity dengan tiga bagian tuber ischii yang sejajar dengan tulang chine dan garis horizontal dari ujung prossesus spinosus dari tulang vertebra sacralis yang ketiga (Gambar 8). Pengukuran luas urat daging mata rusuk (disingkat udamaru) dilakukan pada irisan melintang otot Longissimus dorsi di antara rusuk ke 12 dan 13 dengan menggunakan plastic grid (Gambar 9). Skor Butt shape dinilai secara visual kemontokan paha (plumpness of leg) menurut petunjuk Ausmeat (1995). Standar skor butt shape berkisar antara E – A, dimana skor “A” menunjukkan skor penampakan kemontokan paha dengan perdagingan maksimum dan skor “E” menunjukkan skor penampakan 40 kemontokan paha dengan perdagingan minimum (Gambar 2). Cara penilaian butt shape dapat dilihat pada Gambar 10. Hasil sampingan dari pembentukan potongan komersial berupa trim lemak, serpihan daging (tetelan) dan tulang juga ditimbang dan dicatat sebagai bobot trim lemak, serpihan daging dan tulang. 41 Bobot potong Bobot potong adalah hasil penimbangan sapi sebelum disembelih dan telah dipuasakan selama ± 24 jam. Selama pemuasaan air minum disediakan secara ad libitum. Bobot karkas panas Bobot karkas panas atau segar adalah hasil penimbangan karkas sebelum dimasukkan ke dalam chilling room. Persentase karkas panas adalah perhitungan berdasarkan perbandingan bobot karkas panas dengan bobot potong dikalikan 100 persen. Bobot karkas dingin Bobot karkas dingin atau layu adalah hasil penimbangan karkas setelah disimpan dalam chilling room selama ± 24 jam. Persentase karkas dingin adalah perhitungan berdasarkan perbandingan bobot karkas dingin dengan bobot potong dikalikan 100 persen. Bobot komponen karkas Bobot komponen karkas adalah bobot dari masing-masing komponen utama karkas setelah dipisahkan. Komponen karkas terdiri dari daging, trim lemak dan tulang. Persentase komponen karkas adalah hasil perhitungan berdasarkan perbandingan bobot dari masing-masing komponen karkas (daging, trim lemak dan tulang) dengan bobot karkas dingin. Bobot potongan komersial karkas Bobot potongan komersial karkas atau wholesale cuts adalah bobot dari masing-masing potongan seperti: chuck, blade, cuberoll, brisket dan shin yang terdapat pada belahan seperempat karkas bagian depan (forequarter) dan striploin, tenderloin, rump, silverside, topside, knuckle, flank dan shank yang terdapat pada belahan seperempat karkas bagian belakang (hindquarter). Persentase potongan komersial karkas (wholesale cuts) adalah hasil perhitungan berdasarkan perbandingan bobot dari masing-masing potongan komersial dengan bobot karkas dingin dikalikan 100 persen. Tebal lemak pangkal ekor Tebal lemak pangkal ekor (TLPE) atau anal fold adalah hasil pengukuran tebal lipatan lemak pada pangkal ekor dengan dengan menggunakan kaliper. TLPE terdiri dari kulit dan lemak yang diukur pada lokasi antara tulang ischium dengan pangkal ekor. Tebal lemak punggung Tebal lemak punggung pada mata rusuk ke-12 (TLR 12) adalah hasil pengukuran tebal lemak subkutan yang menutup otot longissimus dorsi (longissimus thoracis et lumborum), pada posisi tepat ¾ bagian irisan melintang otot longissimus dorsi sesuai petunjuk Murphey et al., (1960). Tebal lemak rump P8 Tebal lemak rump P8 adalah hasil pengukuran tebal lemak subkutan yang dilakukan di daerah rump yaitu pada titik perpotongan antara garis vertikal dari dorsal tuberosity dengan tiga bagian tuber ischii yang sejajar dengan tulang chine dan garis horizontal dari ujung prossesus spinosus dari tulang vertebra sacralis yang ketiga, sesuai petunjuk Moon (1980).45 Luas urat daging mata rusuk Luas urat daging mata rusuk adalah hasil pengukuran yang dilakukan pada irisan melintang otot Longissimus dorsi di antara rusuk ke-12 dan 13. Pengukuran dilakukan dengan melukis batas luas penampang melintang otot Longissimus dorsi menggunakan spidol permanen pada plastik transparan yang ditempel pada permukaan irisan otot. Perhitungan luas dilakukan dengan menempelkan luas lukisan tadi pada plastik grid. Satuan dari plastik grid adalah 1 inci2 tiap 10 titik. Jumlah titik yang tercakup oleh bidang penampang melintang tersebut dijadikan ukuran luas urat daging mata rusuk dalam inchi2. Persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung Persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung (GPJ) adalah hasil perhitungan berdasarkan perbandingan dari jumlah keseluruhan bobot lemak yang menyelubungi ginjal, lemak pada rongga pelvis dan lemak yang menyelubungi jantung dengan bobot karkas segar dikalikan 100 persen. American Primal cuts British Primal cuts Sapi Perah. Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak dipelihara adalah sapi Shorhorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda), Yersey (dari selat Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari Switzerland), Red Danish (dari Denmark) dan Droughtmaster (dari Australia) Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bibit sapi perah betina dewasa adalah: (a) produksi susu tinggi, (b) umur 3,5-4,5 tahun dan sudah pernah beranak, (c) berasal dari induk dan pejantan yang mempunyai eturunan produksi susu tinggi, (d) bentuk tubuhnya seperti baji, (e) matanya bercahaya, punggung lurus, bentuk kepala baik, jarak kaki depan atau kaki belakang cukup lebar serta kaki kuat, (f) ambing cukup besar, pertautan pada tubuh cukup baik, apabila diraba lunak, kulit halus, vena susu banyak, panjang dan berkelokkelok, puting susu tidak lebih dari 4, terletak dalam segi empat yang simetris dan tidak terlalu pendek, (g) tubuh sehat dan bukan sebagai pembawa penyakit menular, dan (h) tiap tahun beranak. Sementara calon induk yang baik antara lain: (a) berasal dari induk yang menghasilkan air susu tinggi, (b) kepala dan leher sedikit panjang, pundak tajam, badan cukup panjang, punggung dan pinggul rata, dada dalam dan pinggul lebar, (c) jarak antara kedua kaki belakang dan kedua kaki depan cukup lebar, (d) pertumbuhan ambing dan puting baik, (e) jumlah puting tidak lebih dari 4 dan letaknya simetris, serta (f) sehat dan tidak cacat. Pejantan yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) umur sekitar 4- 5 tahun, (b) memiliki kesuburan tinggi, (c) daya menurunkan sifat produksi yang tinggi kepada anak-anaknya, (d) berasal dari induk dan pejantan yang baik, (e) besar badannya sesuai dengan umur, kuat, dan mempunyai sifat-sifat pejantan yang baik, (f) kepala lebar, leher besar, pinggang lebar, punggung kuat, (g) muka sedikit panjang, pundak sedikit tajam dan lebar, (h) paha rata dan cukup terpisah, (i) dada lebar dan jarak antara tulang rusuknya cukup lebar, (j) badan panjang, dada dalam, lingkar dada dan lingkar perut besar, serta (k) sehat, bebas dari penyakit menular dan tidak menurunkan cacat pada keturunannya Sapi perah yang telah disepakati sebagai berikut: - Umur : Betina minimal 15-20 bulan, jantan minimal 18 bulan; - Tinggi pundak : Betina minimal 115 cm, jantan minimal 134 cm; - Berat badan : Betina minimal 300 kg, jantan minimal 480 kg; - Lingkar dada : Betina minimal 155 cm; - Warna bulu : hitam putih/merah putih sesuai dengan karakteristik sapi perah FH; i. berdasarkan kemampuan dan kualitas produksi susu tetuanya, bibit sapi perah terdiri dari bibit dasar, bibit induk dan bibit sebaran Seleksi bibit sapi perah dilakukan berdasarkan performan anak dan individu calon bibit sapi perah tersebut, dengan mempergunakan kriteria seleksi sebagai berikut: 1. Seleksi dilakukan oleh peternak terhadap bibit ternak yang akan dikembangkan di eternakan ataupun terhadap keturunan/bibit ternak yang diproduksi baik oleh kelompok peternak rakyat maupun perusahaan peternakan untuk keperluan peremajaan atau dijual sebagai bibit. 2. Seleksi calon bibit jantan dipilih dari hasil perkawinan 1-5% pejantan terbaik yang dikawinkan dengan betina unggul 40-50% dari populasi selanjutnya dilakukan uji performan yang dilanjutkan dengan uji zuriat untuk menghasilkan proven bull . 3. Seleksi calon bibit betina dipilih dari hasil perkawinan 1-5% pejantan terbaik yang dikawinkan dengan betina unggul 70-85% dari populasi selanjutnya dilakukan uji performan. Dalam melakukan seleksi bibit harus diperhatikan sifat-sifat sapi perah sebagai berikut: 1. Sifat kuantitatif - umur pubertas; - melahirkan teratur; - berat lahir, berat sapih, berat kawin, berat dewasa; - laju pertumbuhan setelah disapih; - tinggi pundak; - produksi susu; - lingkar scrotum. 2. Sifat kualitatif - bentuk tubuh/eksterior; - abnormalitas/cacat; - tidak ada kesulitan melahirkan; - libido jantan; - tabiat; - kekuatan (vigor).

Jumat, 07 Mei 2010

ORGAN REPRODUKSI JANTAN

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Reproduksi adalah pembentukan individu baru dari individu yang telah ada dan merupakan ciri khas dari semua organisme hidup. Proses reproduksi tidak diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme, tetapi tanpa reproduksi species akan punah. Untuk terjdinya proses reproduksi seksual, hewan perlu memiliki organ reproduksi yang mampu menghasilkn gamet, harus melalui proses pekawinan (khususnya bagi hewan berproduksi seksual).
Testes merupakan alat reproduksi perimer pada hewan jantan, dan pada hewan pada hewan menyusui lokasi testes yang wajar terdapat di dalam kantung di luar tubuh yang disebut scortum. Saluran- saluran alat pelengkap merupakan alat reproduksi sekunder yang berasal dari tstis menuju ke fase efferentia, epidermis, dan vase deferensial dan penis dengan saluran merupaka saluran bersama dialirkannya plasma air mani. Alat kelamin primer, sekunder, dan pelengkap ketiganya disebut saluran reproduksi jantan.
Oleh karena itu, pada praktikum reproduksi ternak yang telah dilaksanakan yaitu pada percobaan pengenalan organ kelamin jantan. Di dalam praktikum ini, bertujuan untuk mengetahui dan melihat secara langsung nama organ, letak serta fungsi organ-organ reproduksi pada hewan jantan.
A. Organ Kelamin Primer
1. Testis
Adalah organ reproduksi primer pada ternak jantan, karena berfungsi menghasilkan gamet jantan (spermatozoa) dan hormone kelamin jantan (androgens). Testes berlokasi di dekat ginjal turun melalui canalis inguinalis masuk ke dalam scrotum. Turunnya testes terjadi akibat memendeknya gubernaculum, sebuah ligamentum yang memanjang dari daerah inguinalis kemudian bertaut pada cauda epididymis. Pemendekan gubernaculum terjadi karena pertumbuhan gubernaculum tidak secepat pertumbuhan tubuh. Testes terletak dekat dengan daerah inguinalis dan tekanan intra-abdominal membantu testes melalui canalis inguinalis masuk scrotum. Hormone yang terlibat dalam pengaturan turunnya testes adalah gonadotropins dan androgen (Anonima, 2009).
Testis terletak pada daerah prepubis, terbungkus dalam kantong scrotum dan digantung oleh feniculus spermatikus yang mengandung unsur-unsur yang terbawa oleh testes dalam perpindahannya dari cavum abdominalis melalui canalis linguinalis ke dalam scrotum (Toelihere, 1979).
Testis pada sapi mempunyai panjang berkisar 10-13 cm, lebar berkisar 5-6,5 cm dan beratnya 300-400 gr. Babi mempunyai ukuran testes serupa pada sapi, tetapi domba dan kuda ukuran testisnya lebih kecil. Pada semua ternak, testis ditutupi oleh tunica vaginalis, sebuah jaringan serous yang merupakan perluasan dari peritoneum. Lapisan ini diperoleh ketika testis turun masuk ke dalam scrotum dari tempat asalnya dalam ruang abdominal yang melekat sepanjang garis epididymis. Lapisan luar dari testis adalah tunica albuginea testis, merupakan membrane jaringan ikat elastis berwarna putih. Lapisan fungsional dari testis, yaitu parenchyma terletak di bawah lapisan tunica albuginea. Parenchyma ini berwarna kekuningan, terbagi-bagi oleh septa yang tidak sempurna menjadi segmen-segmen. Parenchyma mempunyai pipa-pipa kecil didalamnya yang disebut tubulus seminiferous (tunggal), tubuli seminiferi (jamak) (Anonima, 2009).
Testis ini diselubungi oleh selapis tenunan pengikat yang tipis dan elastis, disebut tunica albuginea. Sedangkan panjang tubuli keseluruhan pada sapi jantan dewasa diperkirakan 4,5 km, dan setiap tubulus bergaris tengah 200 mikron lebih sedikit, dan kira-kira 80% dari berat testis seeekor sapi jantan normal terdiri dari tubuli (Salisbury,1985).
Berikut ini adalah gambar testes :

Sumber :

B. Organ Kelamin Sekunder
1. Vas Deferens
Vas deferens. Merupakan sebuah saluran dengan satu ujung berawal dari bagian ujung distal dari cauda epididymis. Kemudian dengan melekat pada peritoneum, membentang sepanjang corda spermaticus, melalui daerah inguinalis masuk ruang pelvis, dimana vas deferens bergabung dnegan urethra di suatu tempat dekat dengan lubang saluran kencing dari vesica urinaria. Bagian vas deferens yang membesar dekar dengan urethra, di sebut ampulla (Anonima, 2009)
Vas deferens atau saluran sperma (duktus deferens) merupakan saluran lurus yang mengarah ke atas dan merupakan lanjutan dari epididimis. Vas deferens tidak menempel pada testis dan ujung salurannya terdapat di dalam kelenjar prostat. Vas deferens berfungsi sebagai saluran tempat jalannya sperma dari epididimis menuju kantung semen atau kantung mani (vesikula seminalis) (Anonimb, 2009).
Vas deferens adalah sebuah tabung yang dibentuk dari otot. Vas deferens membentang dari epididimis ke uretra/ saluran kencing pars prostatika. Vas deferens memiliki panjang sekitar 4,5 cm dengan diameter sekitar 2,5 mm. Saluran ini muara dari Epididymis yaitu saluran- saluran yang lebih kecil dari vas deferens. Bentuknya berkelok-kelok dan membentuk bangunan seperti topi (Haris, 2009).

2. Epididimis
Epididimis adalah suatu struktur yang memanjang yang bertaut rapat dengan testis. Epididimis mengandung ductus epididimis yang sangat berliku-liku, dan mencapai panjang lebih 40 meter jantan dewasa dan kurang lebih 60 meter pada babi dan 80 meter pada kuda (Toelihere, 1979).
Epididimis suatu pembuluh yang timbul dari bagian dorsal testis berasal dari duktus defferensia, terdiri dari 3 bagian: kepala, badan dan ekor (Salisbury, 1985).
Kepala (caput epididymis) membentuk suatu penonjolan dasar dan agak berbentuk mangkok yang dimulai pada ujung proximal testis. Umumnya berbentuk U, berbeda-beda dalam ukurannya dan menutupi seluas satu pertiga dari bagian-bagian testis (Toelihere, 1979).
Corpus epididimis (badan epididimis): bagian badan terentang lurus ke bawah, sejajar dengan jalannya vasdeferens, menjalar terus hampir melewati testes, dibagian bawah testes epididimis membelok ke atas. Cauda epididimis (ekor epididimis): merupakan bagian epididimis yang terletak pada bagian bawah testes yang membelok ke atas. Pada hewan hidup cauda epididimis terlihat berupa benjolan di bagian ujung bawah testes dan dapat diraba (Marawali, 2001).
Panjang total dari epididymis diperkirakan mencapai 34 meter pada babi dan kuda. Lumen cauda epididymis lebih lebar daripada lumen corpus epididymis. Struktur dari epididymis dan saluran eksternal lainnya, vas deferens dan urethra adalah serupa pada saluran reproduksi betina (Nuryadi, 2000).
Menurut Anonima (2009), fungsi epididimis adalah :
• Transportasi. Epididymis mempunyai fungsi pertama yaitu sebagai sarana transportasi bagi spermatozoa. Lama perjalanan spermatozoa dalam epididymis pada domba, sapi dan babi bervariasi, masing-masing adalah dari 13-15, 9-11, dan 9-14 hari.
• Konsentrasi. Fungsi yang kedua adalah konsentrasi spermatozoa, dimana sewaktu spermatozoa memasuki epididymis bersama cairan asal testis dalam keadaan relative encer, diperkirakan sejumlah 100 juta per millimeter pada sapi, domba dan babi. Dalam epididymis spermatozoa dikonsentrasikan menjadi kira-kira 4 milyar spermatozoa per millimeter.
• Deposisi. Fungsi ketiga, adalah sebagai tempat deposisi (penyimpanan) spermatozoa.
• Maturasi. Merupakan fungsi keempat. Hal ini dapat dibuktikan bahwa spermatozoa yang baru saja masuk ke caput epididymis berasal dari vasa efferentia tidak memiliki fertilitas dan juga tidak memiliki motilitas.
Jadi dari keempat fungsi epididmis, caput (kepala) epididimis berfungsi sebagai tempat maturasi dan konsentrasi; pada corpus (badan) epididimis berfungsi sebagai transportasi sperma; sedangkan pada bagian ekor (cauda) epididimis berfungsi sebagai tempat penimbunan sperma (Toelihere, 1979).


Sumber :
Epididimis mamalia merupakan alat kelamin aksesori dinamik, tergantung pada androgen testikularis untuk memelihara status diferesiansi epitel terdiri dari sejumlah 8-25 duktuli eferentes dan duktus epididimis yang panjangnya berliku-liku.secara makrokoskopik, epididimis terdiri dari kepala, badan, dan ekor yang terbungkus oleh tudika albuginea tebal yang terdiri dari jaringan ikat pekat tidak teratur, dibalut oleh lapis viseral tunika vaginalis. Pada kuda jantan, tunika albuginea memiliki sedikit sel otot polos yang tersebar didalamnya (Brown, 1992).

C. Organ Kelamin Luar
1. Skrotum
Skrotum (kantung pelir) merupakan kantung yang di dalamnya berisi testis. Skrotum berjumlah sepasang, yaitu skrotum kanan dan skrotum kiri. Di antara skrotum kanan dan skrotum kiri dibatasi oleh sekat yang berupa jaringan ikat dan otot polos (otot dartos). Otot dartos berfungsi untuk menggerakan skrotum sehingga dapat mengerut dan mengendur. Di dalam skrotum juga tedapat serat-serat otot yang berasal dari penerusan otot lurik dinding perut yang disebut otot kremaster. Otot ini bertindak sebagai pengatur suhu lingkungan testis agar kondisinya stabil. Proses pembentukan sperma (spermatogenesis) membutuhkan suhu yang stabil, yaitu beberapa derajat lebih rendah daripada suhu tubuh (Anonimc, 2008).

Sumber :

Fungsi utama skrotum adalah untuk memberikan kepada testis suatu lingkungan yang memiliki suhu 1oC sampai 8oC lebih dingin dibandingkan temperatur rongga tubuh. Fungsi ini dapat terlaksana disebabkan adanya pengaturan oleh system otot rangkap yang menarik testis mendekati dinding tubuh untuk memanasi testis atau membiarkan testis atau membiarkan testis menjauhi dinding tubuh agar lebih dingin. Dengan kata lain fungsi scrotum yaitu mengatur temperatur testes dan epidermis agar tidak terlalu rendah dengan suhu tubuh (termoregulator testes) (Anonimd, 2007).
2. Penis
Merupakan organ kopulasi pada ternak jantan, membentang dari titik urethra keluar dari ruang pelvis di bagian dorsal sampai dengan pada orificium urethra eksternal pada ujung bebas dari penis (Anonima, 2009).
Penis hewan jantan dewasa berukuran panjang 91,4 cm dan bergaris tengah 2,5 cm. Berbentuk penis ini silindris dan sedikit menipis dari pangkal penis ke ujung yang bebas. Bagian ujung penis memiliki sedikit sekali jaringan tegang, kecuali bagian pangkal, jadi penis membesar sedikit pada waktu ereksi dan menjadi lebih tegang. Pada waktu keadaan penis mengendor atau tidak menegang, penis sapi jantan padat dan keras. Dibelakang scrotum penis tadi membentuk lengkungan menyerupai huruf S, disebut flexura sigmoideus. Pada waktu penis menegang huruf S ini akan menjadi lurus yang menyebabkan penis mencapai panjang 91,4 cm (Salisbury, 1985).
Penis mempunyai dua fungsi utama yaitu menyemprotkan semen ke dalam alat reproduksi betina dan sebagai tempat keluarnya urine. Penis terbungkus oleh tunica fibrosa yang padat dan putih yang disebut tunica albuginea. Penis dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian pangkal yang melekat pada facia atau ligamentum yang kuat dan disebut crush penis (bagian badan) dimana bagian badan dimana bagian tangannya melipat melingkar menyerupai huruf S disebut flexura sigmoidea dan bagian ujung penis disebut glans penis, yang dilengkapi dua macam perlengkapan yaitu musculus refraktor penis yang dapat merelaksasi dan mengkerut dan corpus convernosum penis untuk menegangkan penis (Partodihardjo, 1992).
Korpus penis terdiri atas: jaringan erektil korpus kavernosum penis, uretra yang dikelilingi oleh korpus kavernosum uretrae, muskuli bulbo-kavernosus dan retraktor penis. Ujung penis disebut gland penis, dimana pada beberapa spesies tidak begitu jelas (Anonime, 2009).
Glands penis pada sapi mempunyai panjang 7,5-12,5 cm dan agak lancip; sedangkan glands penis pada kambing menyerupai suatu penonjolan filiformis sepanjang 4-5 cm, dengan panjang glands penis 5-7,5 cm. Penis pada sapi jantan dewasa panjangnya mencapai ± 100 cm diukur dari dari akar sampai ke ujung glands penis. Penis sapi dalam keadaan ereksi dan pemacekan penis menonjok ke luar dari preputium sepanjang 25-60 cm. Pada kambing penisnya memiliki panjang 35 cm dengan flexura sigmoidea yang berkembang baik. Diameternya relatif kecil 1,5-2 cm. Bentuk penis silindris sedikit menipis dari pangkal penis ke ujung yang bebas (Anonimf, 2009).
Penis sapi termasuk dalam tipe fibro-elastic dan bersifat agak kaku walaupun tdalam keadaan tidak ereksi. Sebagian besar badan penis pada keadaan tidak ereksi berbentuk huruf S (flexura sigmoidea) yang berada disebelah dorsal caudal scrotum (Toelihere, 1979).

Sumber :
3. Preputium
Kata prepuce atau preputeum mempunyai arti sama dengan sarung adalah ivaginato dari kulit yang membungkus secara sempurna pada ujung bebas dari penis. Perkembangan embrionik dari organ ini sama dengan perkembangan dari organ labia minira pada ternak betina. Prepuce dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian prepenile, lipatan luar dan bagian penile, lipatan dalam. Sekitar lubang prepuse ditumbuhi oleh rambut panjang dan kasar. Pada saat penampungan semen dalam program inseminasi buatan, perlu diadakan pencukuran terhadap rambut ini, untuk menjaga agar semen tidak tercemar oleh kotoran yang kemungkinan besar menempel pada rambut tersebut (Anonima, 2009).
Preputium adalah lipatan kulit disekitar ujung bebas penis. Permukaan luar merupakan kulit yang agak khas, sementara dalam menyerupai membrane mukosa yang terdiri dari lapisan preputial dan lapisan penil yang menutup permukaan extremitas bebas dari penis. Preputium kuda merupakan lipatan rangkap, sehingga dua lapisan konsentrik mengelilingi penis apabila penis ditarik kembali. Preputium babi mempunyai divertikulum (kantung)disebelah dorsal dari orifisium preputial. Kantung itu mengakumulasi urine, sekresi-sekresi dan sel-sel mati yang menyebabkan adanya bau khas pada babi dewasa (Frandson, 1992).
Lubang preputium terletak sedikit dibelakang umbilicus dan biasanya dikelilingi oleh rambut panjang. Rongga preputium tempat ujung penis yang bebas itu terletak, mempunyai panjang 37,5 cm dan bergaris tengah 2,5 cm. Preputium berdinding sel epitel pipih bertanduk dengan tinggi yang berbeda-beda. Pada waktu ereksi penis biasanya memenjang tetapi tidak lebih dari 25 sampai 30 cm melewati muara preputium dan akan mencapai perpanjangan yang sempurna hanya pada detik sapi itu mencapai titik tertinggi dari aktifitas kopulasi (Salisbury, 1985).

D. Kelenjar-Kelenjar Kelamin Aksesoris
1. Kelenjar Vesikuler (Vesikula Seminalis)
Kelenjar vesikularis adalah sepasang kelenjar yang bermuara dengan duktus deferens melalui bermacam-macam duktus ejakulataris ke dalam urethra pelvix kemudian ke kaudal leher kandung kencing (Frandson, 1992).
Glandula ini jumlahnya sepasang, pada sapi cukup subur dan membentuk lobulasi yang jelas. Pada kuda dan manusia berbentuk memanjang dan mengantong. Babi, domba dan kambing pertumbuhan glandulanya cukup baik. Tetapi anjing dan kucing tidak memiliki glandula vesikulares. Pada sapi saluran glandula tersebut bersatu dengan saluran ampula membentuk kedua Ostea ejakulatoria yang bermuara kedalam uretra. Bentuk uretra ini bisa berbeda antara jenis hewan satu dengan yang lainnya (Anonime, 2009).
Panjang kelenjar ini sama pada beberapa jenis ternak seperti kuda, sapid an babi yaitu berkisar 13 – 15 cm, tetapi lebar dan ketebalannya berbeda, kelenjar vesicular pada sapi mempunyai ketebalan dan lebar hamper separuh dari yang ada pada babi dan kuda. Domba mempunyai kelenjar vesicular jauh lebih kecil, mempunyai panjang kira – kira 4 cm. Pada sapi, kelenjar vesicular memberikan sekresinya lebih dari separuh volume total dari semem dan pada jenis – jenis ternak lainnya rupanya juga sama sebagai mana pada sapi (Anonima, 2009).
Lumen kelenjar vesikularis bermuara kedalam uretra sebelah kranial dari muara kedua ampula, atau muara-muara tersebut menjadi satu. Terdapat variasi dari beberapa individu sapi. Lumen kelenjar ini luasnya ± 0,3 mm, pada dindingnya terdapat 2 lapisan epitelium. Pada postmortem zat cair yang dihasilkan oleh kelenjar ini berupa cairan agak kental dan lengket yang mengandung potasium, asam sitrat, fruktose dan beberapa macam enzim. Seringkali cairan ini berwarna kuning karena mengandung banyak asam askorbat dengan pH 5,7 sampai 6,2 (Partodihardjo 1992).
2. Kelenjar Prostat
Kelenjar prostat merupakan kelenjar tubuloalveolar, berkembang dari epitel uretra pelvis. Secara topografik dibedakan dua bagian : bagian padat kelenjar atau bagian luar (corpus prostatae), dan bagian yang menyebar atau bagian dalam (pars disseminata prostatae). Bagian luar adalah yang hampir mengitari seluruh uretra pelvis didaerah kolikulus seminalis, dan yang menutup bagian dorsalnya saja. Pars disseminata terletak dalam propria-submukosa uretra pelvis (Brown, 1992).

Sumber :

Kelenjar prostat melingkari bagian atas uretra dan terletak di bagian bawah kantung kemih. Kelenjar prostat menghasilkan getah yang mengandung kolesterol garam dan fosfolipid yang berperan untuk kelangsungan hidup sperma (Anonimc, 2008).
Kelenjar prostate merupakan kelenjar tunggal yang terletak mengelilingi dan sepanjang uretra tepat dibagian posterior dari lubang ekskretoris kelenjar vesicular. Badan kelenjar prostate jelas dapat dilihat pada ternak yang dewasa, pada sapi dan kuda dapat di raba melalui palpasi parectal. Pada domba, seluruh prostatenya mengelilingi otot daging uretra. Ekskresi kelenjar prostate hanya sebagian kecil saja menyusun pada cairan semen pada cairan semen pada beberapajenis ternak yang diteliti. Tetapi beberapa menunjukkan bahwa setidak – tidaknya sumbangan kelenjar prostate sebagaimana substantial kelenjar vesicular pada babi. Kelenjar prostate mengandung banyak ion – ion anorganik, meliputi Na, Cl, dan Mg semuanya dalam larutan (Anonima, 2009).
Kelenjar prostate berukuran lebar 2,5 - 4 cm dan tebal 1,0-1,5 cm, dapat dipalpasi per rektal sebagai suatu penonjolan lonjong melintang pada ujung cranial urethra pelvis. Pars disseminate mengelilingi urethra pelvis. Di dorsal ukurannya mencapai tebal 1,0-1,5 cm, panjang 10-12 cm, dan tertutup oleh otot urethra (Toelihere, 1979).

3. Kelenjar Bulbouretral (Cowper’s)
Kelenjar bulborethal terdiri sepasang kelenjar yang terletak sepanjang uretra, dekat dengan titik keluarnya uretra dari ruang pelvis. Kelenjar ini mempunyai ukuran dan bentuk seperti bulatan yang berdaging dan berkulit keras, pada sapi lebih kecil dibandingkan pada babi. Pada sapi terletek mengelilingi otot daging bulbospongiosum. Sumbangannya pada cairan semen hanya sedikit. Pada sapi, sekresi kelenjar bulbourethral membersihkan sisa – sisa urine yang ada dalam uretra sebelum terjadi ejakulasi. Sekresi ini dapat di lihat sebagai tetes – tetes dari preputilium sesaat sebelum ejakulasi. Pada babi, sekresinya mengakibatkan sebagian dari semen babai menjadi menggumpal. Gumpalan ini dapat dipisahkan jika semen babai akan digunakan dalam inseminasi buatan. Selama perkawinan secara alam, gumpalan – gumpalan ini menjadi sumbat yang dapat mencegah membanjirnya semen keluar melalui canalis cervicalis menuju kedalam vagina dari babi betina (Anonim, 2010).
Kelenjar Cowper’s dibungkus oleh jaringan serabut yang tebal, berbentuk lonjong atau bulat telur berukuran panjang 2,5 cm. Setiap kelenjar akan mengeluarkan hasil produksi cairannya melewati satu muara kedalam uretra. Kelenjar ini memproduksi subtansi berupa lendir yang bersifat licin dan kental (Anonim, 2010).
Pada ruminansia, kelenjar cowper’s juga dibalut oleh otot bulbokafernosa, sedangkan pada sapi dan domba jantan suatu penghubung pendek menghubungkan ujung kelenjar dengan alat penyalur yang dibalut oleh epitel kubus sebaris. Pada kambing jantan, ujung kelenjar bermuara langsung dalam alat penyalur tersebut. Sel-sel otot polos banyak tersebar dalam interstisium (Anonim, 2010).
Berikut adalah perbandingan dari kelenjar-kelenjar tambahan beberapa ternak :

Sumber :
Hasil
Berdasarkan praktikum Dasar Ilmu Reproduksi Ternak yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4. Bentuk, Warna dan Ukuran Bagian-bagian Organ Kelamin Sapi Bali Normal

Bagian Organ Parameter yang diukur
Bentuk Warna Panjang (cm) Diameter (cm)
Gland Penis Bulat melengkung Putih Kekuningan 3,5 3,5
Penis Memanjang silinder Putih Kekuningan 64 6
Kel. Cowper Bulat kecil Kemerahan 1,5 1
Kel. Prostat Lonjong Putih kemerahan 3,5 6
Vas Deferens Panjang Putih kemerahan 12 1
Epididymis
• Caput
• Corpus
• Cauda
Pipih
Panjang, silinder
Oval
Putih pucat
Putih pucat
Putih pucat
5,5
9
4
4,5
1
4,5
Testes Lonjong Putih pucat 10 10
Sumber : Data Hasil Praktikum Dasar Ilmu Reproduksi Ternak, 2009.

Tabel 5. Bentuk, Warna dan Ukuran Bagian-bagian Organ Kelamin Sapi Brahman Abnormal

Bagian Organ Parameter yang diukur
Bentuk Warna Panjang (cm) Diameter (cm)
Gland Penis Oval Kekuningan 2,5 5
Penis Silinder Kekuningan 24 8,5
Kel. Cowper Silinder Merah pucat 7,5 4,5
Kel. Prostat Lonjong Putih pucat 4,5 5,5
Vas Deferens Lonjong Putih pucat 23 0,5
Epididymis
• Caput
• Corpus
• Cauda
Oval
Memanjang
Oval
Putih pucat
Putih pucat
Putih pucat
8
14
4,5
6
2
8
Testes
Sumber : Data Hasil Praktikum Dasar Ilmu Reproduksi Ternak, 2009.

Tabel 6. Bentuk, Warna dan Ukuran Bagian-bagian Organ Kelamin Sapi Brahman Normal

Bagian Organ Parameter yang diukur
Bentuk Warna Panjang (cm) Diameter (cm)
Gland Penis Oval Krem 4 3,5
Penis Lonjong Krem 60 9
Kel. Cowper
Kel. Prostat Lonjong Coklat - -
Vas Deferens Panjang Krem 21 0,5
Epididymis
• Caput
• Corpus
• Cauda
Belok-belok
panjang
belok-belok
Krem
Krem
Krem
11
14
5
-
1
4
Testes Lonjong Krem 14 18
Sumber : Data Hasil Praktikum Dasar Ilmu Reproduksi Ternak, 2009.

Pembahasan
1. Organ Kelamin Primer
Berdasarkan hasil praktikum yang telah diperoleh, maka dapat diketahui bahwa testes pada hewan jantan berebentuk lonjong dan berwarna putih pucat sampai kekuningan. Ukuran testes pada berbagai jenis ternak bervariasi hal ini dapat disebabkan karena perbedaan genetic dan lingkungan di samping perbedaan umur ternak juga sangat mempengaruhi perkembangan ukuran bagian-bagian tubuhnya. Untuk sapi Bali yang normal panjang dan diameter testesnya mencapai 10 cm, sedangkan ukuran testes pada sapi Brahman normal lebih besar dimana panjangnya 14 cm dan berdiameter 18 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (1979) bahwa pada sapi jantan testis berbentuk oval memanjang dan terletak dengan sumbu panjangnya vertikal didalam scrotum, sedangkan pada sapi dewasa panjangnya mencapai 12-16 cm dan diameternya 6-8 cm. Tiap testis berukuran berat 300-500 gr tergantung pada umur, berat badan, dan bangsa sapi. Lebih lanjut dikatakan oleh Keiko (2009) bahwa lapisan luar dari testis adalah tunica albuginea testis, merupakan membrane jaringan ikat elastis berwarna putih serta parenchyma ini berwarna kekuningan. Sedingga warna testes akan terlihat putih ataupun kekuningan.
Disamping itu dapat pula diketahui bahwa pada sapi yang abnormal yang mengalami kelainan kelamin dimana testesnya tidak dapat turun, maka kita tidak dapat mengukur testesnya karena perkembangan testesnya mengalami gangguan hal ini dapat disebabkan karena kerja hormon yang terhambat serta pengaruh suhu yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonimh (2009) yang menyatakan bahwa kejadian tidak turunnya testes ke dalam scrotum semata-mata karena pengaruh suhu. Dimana suhu yang tinggi akan menyebabkan kematian pada spermatozoa, sehingga dengan melakukan pendinginan terhadap testes yang criptochid maka spermatozoa akan aktif kembali.
Di dalam testes sapi terdiri dari beberapa bagian yang memiliki fungsi yang sangat faal. Testis diselubungi oleh selapis tenunan pengikat yang tipis dan elastis, disebut tunica albuginea. Bila diraba selaput ini terasa kukuh dan kuat. Testes juga mengandung tubulus seminiferi yang mengakibatkan testes dapat berfungsi sebagai penghasil sperma. Disamping itu adanya tubulus-tubulus di dalam testes yang dirangsang oleh FSH mengakibatkan testes juga dapat menghasilkan hormon yakni testosteron yang berfungsi untuk mempertahankan sifat kelamin sekunder serta merangsang terjadinya libido (keinginan seksual). Hal ini sesuai dengan pendapat Keiko (2009) yang menyatakan bahwa Lapisan luar dari testis adalah tunica albuginea testis, merupakan membrane jaringan ikat elastis serta lapisan fungsional dari testis, yaitu parenchyma terletak di bawah lapisan tunica albuginea. Parenchyma mempunyai pipa-pipa kecil didalamnya yang disebut tubulus seminiferous (tunggal), tubuli seminiferi (jamak). Lebih lanjut dikatakan oleh Anonimd (2009) bahwa Sel-sel intersituial dari Leydig atas pengaruh ICSH menghasilkan hormon kelamin jantan yaitu hormon testosteron (androgen) yang terdapat di dalam jaringan pengikat di antara tubulus seminiferosa. Spermatozoa dihasilkan di dalam tubuli semineferi atas pengaruh FSH.
2. Organ Kelamin Sekunder
a. Vas Deferens
Berdasarkan praktikum yang dilaksanakan maka dapat diketahui bahwa saluran reproduksi pada jantan terdiri dari vas deferens. Vas deferens merupakan saluran yang panjang dan berliku-liku, yang berdampingan dengan corpus epididymis. Vas deferens memiliki warna putih kekuningan sampai krem, akibat pembuluh darah terkadang vas deferens terlihat berwarna kemerah-merahan. Ukuran fas deferens pada berbagai sapi bervariasi, hal ini dapat disebabkan karena perbedaan lingkungan tempat tinggal serta perbedaan genetik. Sapi bali yang normal saluran vas deferensnya memiliki panjang 12 cm dengan diameter 1 cm. Untuk sapi Brahman normal panjang 21 cm dan diameter 0,5 cm. Sedangkan untuk sapi Brahman abnormal panjang vas deferens mencapai 23 cm dengan diameter 0,5 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Bhima (2009) bahwa vas deferens diameternya dapat mencapai 2 mm, dengan panjang 5-10 cm dan konsistensinya seperti tali dekat ekor epididymis, vas deferens berliku-liku dan berjalan sejajar dengan badan Epididymis.
Vas deferens merupakan saluran yang berdampingan dengan corpus epididymis, dimana saluran ini berfungsi untuk menyalurkan semen dari epididymis menuju ke ampula pada saat terjadi ejakulasi. Hal ini sesuai pendapat Frandson (1992) bahwa vas deferens adalah pipa berotot yang pada saat ejakulasi mendorong spermatozoa dari Epididymis ke duktus ejakulatoris dalam uretra prostatik. Vas deferens mengangkut sperma dari ekor epididymis ke uretra. Dindingnya berupa otot-otot licin yang penting dalam mekanisme pengangkutan semen saat ejakulasi.
b. Epididimis
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan maka dapat diketahui bahwa epididymis memiliki struktur yang panjang dan bertautan dengan testes, yang panjang dan berliku. Terdiri dari 3 bagian yaitu caput epididymis yang merapat dibagian atas testes, kemudian diarah lateral memanjang corpus epididymis, dan diujung testes terdapat ekor/cauda epididymis. Setiap bagian epididymis memiliki fungsi yang berbeda dimana caput epididymis berfungsi untuk menampung sperma yang telah dihasilkan oleh testes dan menyimpannya hingga tercapai maturasi. Selanjutnya Corpus epididymis menjadi saluran yang membawa sperma dari caput menuju ke kauda epididymis. Lalu sperma berakhir di cauda epididymis, yang berfungsi untuk menimbun sperma hingga akhirnya terjadi ejakulasi dan sperma akan keluar menuju vas deferens. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (1979) bahwa Umumnya Epididymis berbentuk U, berbeda-beda dalam ukurannya dan menutupi seluas 1/3 dari bagian testis. Epididymis memiliki empat fungsi yakni caput (kepala) epididymis berfungsi sebagai tempat maturasi dan konsentrasi; pada corpus (badan) epididymis berfungsi sebagai transportasi sperma; sedangkan pada bagian ekor (cauda) epididymis berfungsi sebagai tempat penimbunan sperma.
Ukuran epididymis pada berbagai ternak sangat bervariasi, dimana saluran ini sangat panjang bahkan ada yang mencapai 60 m. Ukuran epididymis pada sapi Bali normal yakni panjang caput 5,5 cm diameter 4,5 cm ; panjang corpus 9 cm diameter 1 cm sedangkan cauda epididymis panjang 4 cm dan diameter 4,5 cm. Ukuran epididymis pada sapi Brahman normal yaitu panjang caput 11 cm ; panjang corpus 14 cm diameter 1 cm sedangkan cauda epididymis panjang 5 cm dan diameter 4 cm. Ukuran epididymis pada sapi Brahman abnormal adalah panjang caput 8 cm diameter 6 cm ; panjang corpus 14 cm diameter 2 cm sedangkan cauda epididymis panjang 4,5 cm dan diameter 8 cm. Dari nilai nilai tersebut diketahui bahwa saluran epididimis sangat panjang dan berliku-liku disekitaran testes. Hal ini sesuai dengan pendapat Brown (1992) yang menyatakan bahwa epididymis mengandung ductus Epididymis yang sangat berliku-liku dan panjang. Akan tetapi ukuran-ukuran yang diperoleh tersebut tidak sesuai dengan pendapat Toelihere (1979) yang menyatakan bahwa saluran epididymis mencapai panjang lebih 40 meter jantan dewasa. Hal ini terjadi karena perbedaan genetik ternak, umur serta lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini didukung oleh Brown (1992) bahwa Epididymis terdiri dari kepala, badan, dan ekor yang terbungkus oleh tudika albuginea tebal yang terdiri dari jaringan ikat pekat tidak teratur, dibalut oleh lapis viseral tunika vaginalis. Tunika albuginea memiliki sedikit sel otot polos yang tersebar didalamnya, sehingga mengakibatkan perbedaan ukuran pada berbagai jenis ternak (Brown, 1992).

3. Organ Kelamin Luar
a. Scrotum
Dari hasil yang diperoleh maka diketahui bahwa scrotum merupakan lapisan terluar dari testes atau biasa disebut sebagai pembungkus testes yang memiliki struktur kulit yang tipis serta banyak mengandung kelenjar keringat sehingga dapat berfungsi untuk melindungi testes serta mempertahankan suhu testes sehingga dapat memproduksi spermatozoa. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) bahwa Scrotum adalah kulit berkantong yang ukuran, bentuk dan lokasinya menyesuaikan dengan testis yang dikandungnya. Kulit scrotum adalah tipis, lembut dan relatif kurang berambut. Fungsi utama skrotum adalah untuk memberikan kepada testis suatu lingkungan yang memiliki suhu 1oC sampai 8oC lebih dingin dibandingkan temperatur rongga tubuh. Fungsi ini dapat terlaksana disebabkan adanya pengaturan oleh system otot rangkap yang menarik testis mendekati dinding tubuh untuk memanasi testis atau membiarkan testis atau membiarkan testis menjauhi dinding tubuh agar lebih dingin.
b. Penis
Berdasarkan praktikum yang dilakukan maka diketahui bahwa penis merupakan organ kopulasi yang terdiri dari 2 bagian yaitu gland penis dan penis. Gland penis pada sapi memiliki bentuk membulat dan berwarna kekuningan. Ukurannyapun kecil tati bervariasi tergantung pada jenis dan umur ternak serta lingkungan. Glan penis pada sapi bali normal panjangnya dan diameternya 3,5 cm ; pada sapi Brahman normal panjangnya 4 cm diameter 3,5 cm ; sedangkan gland penis pada sapi ab normal panjang 2,5 dan diameter 5 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa Glands penis memiliki bentuk yang menipis di ujung yang bebas pada penis. Ukurannya berbeda-beda dari masing-masing jenis dan umur ternak, pada sapi mempunyai panjang 7,5-12,5 cm dan agak lancip dengan panjang glands penis 5-7,5 cm.
Lain halnya dengan gland penis, penis memiliki bentuk yang panjang dan silinder (lonjong). Sama seperti gland penis, penispun ukurannya berbeda-beda. Pada sapi bali normal panjangnya 64 cm dan diameternya 6 cm ; pada sapi Brahman normal panjangnya 60 cm diameter 9 cm ; sedangkan gland penis pada sapi ab normal panjang 24 dan diameter 8,5 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) bahwa penis pada sapi jantan dewasa panjangnya mencapai ± 100 cm diukur dari dari akar sampai ke ujung glands penis. Penis sapi dalam keadaan ereksi dan pemacekan penis menonjok ke luar dari preputium sepanjang 25-60 cm. Diameternya relatif kecil 1,5-2 cm. Bentuk penis silindris sedikit menipis dari pangkal penis ke ujung yang bebas. Lebih lanjut dikatakan oleh Anonimc (2009) bahwa Penis hewan jantan dewasa berukuran panjang 91,4 cm dan bergaris tengah 2,5 cm. Berbentuk penis ini silindris dan sedikit menipis dari pangkal penis ke ujung yang bebas. Bagian ujung penis memiliki sedikit sekali jaringan tegang, kecuali bagian pangkal; jadi penis membesar sedikit pada waktu ereksi dan menjadi lebih tegang. Pada waktu keadaan penis mengendor atau tidak menegang, penis sapi jantan padat dan keras. Dibelakang scrotum penis tadi membentuk lengkungan menyerupai huruf S, disebut flexura sigmoideus.
Gland penis pada ujung testes menjadi pusat saraf pada penis, karena gland penis ini dialiri oleh banyak pembulus saraf dan merupakan tempat ujung saraf yang mendukung proses ejakulasi. Sedangkan penis merupakan organ kopulasi yang berfungsi untuk menyemprotkan semen ke dalam alat reproduksi betina serta sebagai tempat keluarnya urine. Hal ini sesuai dengan pendapat Partodihardjo (1992), yang menyatakan bahwa penis mempunyai dua fungsi utama yaitu menyemprotkan semen ke dalam alat reproduksi betina dan sebagai tempat keluarnya urine karena berhubungan langsung dengan ureter/uretra sedangkan diujung penis dimana terdapat gland penis yang dialiri banyak pembuluh saraf dan merupakan tempat ujung saraf.
c. Preputium
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa preputium merupakan kulit tipis atau kalup yang merupakan kelanjutan dari kulit abdomen berfungsi untuk yang membungkus atau menutup ujung penis. Setelah masa pubertas tercapai pada seekor jantan maka preputium ini akan terbuka yang memungkinkan penis untuk kelus masuk pada saat ereksi dan relaksasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Nuryadi (2000), bahwa preputeum adalan bagian dari kulit yang membungkus secara sempurna pada ujung bebas dari penis. Preputium adalah lipatan kulit disekitar ujung bebas penis. Permukaan luar merupakan kulit yang agak khas, sementara dalam menyerupai membrane mukosa yang terdiri dari lapisan preputial dan lapisan penil yang menutup permukaan extremitas bebas dari penis.


PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang didapatkan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Testes pada hewan jantan berebentuk lonjong dan berwarna putih pucat sampai kekuningan. Untuk sapi Bali yang normal panjang dan diameter testesnya mencapai 10 cm, sedangkan ukuran testes pada sapi Brahman normal lebih besar dimana panjangnya 14 cm dan berdiameter 18 cm. Testes berfungsi sebagai penghasil sperma dan hormon kelamin jantan (testosterone)
2. Vas deferens memiliki warna putih kekuningan sampai krem, akibat pembuluh darah terkadang vas deferens terlihat berwarna kemerah-merahan. Sapi bali yang normal saluran vas deferensnya memiliki panjang 12 cm dengan diameter 1 cm. Untuk sapi Brahman normal panjang 21 cm dan diameter 0,5 cm. Sedangkan untuk sapi Brahman abnormal panjang vas deferens mencapai 23 cm dengan diameter 0,5 cm. Berfungsi untuk menyalurkan semen dari epididymis menuju ke ampula pada saat terjadi ejakulasi.
3. Ukuran epididymis pada sapi Bali normal yakni panjang caput 5,5 cm diameter 4,5 cm ; panjang corpus 9 cm diameter 1 cm sedangkan cauda epididymis panjang 4 cm dan diameter 4,5 cm. Ukuran epididymis pada sapi Brahman normal yaitu panjang caput 11 cm ; panjang corpus 14 cm diameter 1 cm sedangkan cauda epididymis panjang 5 cm dan diameter 4 cm. Ukuran epididymis pada sapi Brahman abnormal adalah panjang caput 8 cm diameter 6 cm ; panjang corpus 14 cm diameter 2 cm sedangkan cauda epididymis panjang 4,5 cm dan diameter 8 cm. Berfungsi sebagai tempat maturasi, konsentrasi, transportasi serta penimbunan sperma sebelum diejakulasikan
4. Scrotum merupakan lapisan terluar dari testes atau biasa disebut sebagai pembungkus testes yang memiliki struktur kulit yang tipis serta banyak mengandung kelenjar keringat sehingga dapat berfungsi untuk melindungi testes serta mempertahankan suhu testes
5. Gland penis pada sapi memiliki bentuk membulat dan berwarna kekuningan. Glan penis pada sapi bali normal panjangnya dan diameternya 3,5 cm ; pada sapi Brahman normal panjangnya 4 cm diameter 3,5 cm ; sedangkan gland penis pada sapi ab normal panjang 2,5 dan diameter 5 cm. Penis memiliki bentuk yang panjang dan silinder (lonjong). Pada sapi bali normal panjangnya 64 cm dan diameternya 6 cm ; pada sapi Brahman normal panjangnya 60 cm diameter 9 cm ; sedangkan gland penis pada sapi ab normal panjang 24 dan diameter 8,5 cm. Penis secara umum berfungsi sebagai orga kopulasi pada jantan.
6. Preputium merupakan kulit tipis atau kalup yang merupakan kelanjutan dari kulit abdomen berfungsi untuk yang membungkus atau menutup ujung penis.
7. Kelenjar vesikuler befungsi untuk menghasilkan cairan yang mengandung protein yang tinggi yang digunakan sebagai sumber energi bagi sperma.
8. Kelenjar prostat pada sapi bali normal panjang 3,5 dan diameter 6 cm ; Pada sapi Brahman abnormal panjang 4,5 dan diameter 5,5 cm sedangkan kelenjar prostat pada sapi Brahman normal sulit diidentifikasi karena banyaknya timbunan lemaknya. Kelenjar prostat berdekatan dengan kelenjar vesikuler, berbentuk lonjong serta memiliki warna yang kuning kemerah-merahan. Berfungsi untuk memberikan bau yang khas terhadap semen dan serta mengandung mineral yang tinggi yang digunakan sebagai bahan makanan untuk sperma di dalam semen.
9. Kelenjar Cowpers berfungsi untuk menghasilkan cairan yang akan membersihkan ureter dari sisa-sisa sekresi kedua kelenjar pelengkap yang lainnya serta dari sisa-sisa urine, Kelenjar cowpers berbentuk lonjong dan berwarna kemerah-merahan. Kelenjar ini pada sapi Bali normal panjangnya 1,5 dan berdiameter 1 cm, pada sapi Brahman abnormal panjangnya mencapai 7,5 dan diameter 4,5 cm.
Saran
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan maka sebaiknya bahan/sampel organ yang disiapkan merupakan sampel organ yang telah bersih dari sisa-sisa lemak dan daging guna efisiensi pemanfaatan waktu yang relatif sangat singkat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonima, 2009. Anatomi Organ Reproduksi Jantan. http://changes-theworld.blogspot.com/2009/05/anatomi-organ-reproduksi-jantan.html.

______b, 2009. Sistem Reproduksi Pria dan Wanita. http://www.scribd.com/doc/12878882/Sistem-Reproduksi.

______c, 2008. Sistem Reproduksi Pada Manusiam – Pria. http://gurungeblog.wordpress.com/2008/10/31/sistem-reproduksi-pada-manusia-pria/

______d, 2007. Anatomi dan Fungsi Reproduksi Jantan. http://peternakanuin. blogspot.com/ 2007/12/anatomi-dan-fungsi-reproduksi-jantan.mht. Diakses, 4 Oktober 2009.

______e, 2009. Histologi Sistem Genitalia. http://ajarhistovet.blogspot.com/2009/03/viii-histologi-sistem-genetalia.html.

______f, 2009. Galnds Penis. http//glands-penis.htm.

______g, 2009. Kelenjar Assesoris Jantan. http//kelenjar-assesoris-jantan.html.

______h, 2009. Testis. http//www.Google.com.

Bhima. 2009. Sistem Reproduksi Sapi Termasuk Perbandingan dengan Ruminansia Lainnya ( Domba, Kuda dan Babi ). MIPA FKIP Biologi Universitas Jambi; http://bhimashraf.blogspot.com/2009/04/archive.407003_8573.html

Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II Edisi Ketiga. UI-Press. Jakarta

Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada Univercity. Yogyakarta.

Haris, 2009. Kesehatan Reproduksi. http://cetrook.wordpress.com/2009/04/.

Keiko. 2009. Anatomi Organ Reproduksi Jantan. http://changes-theworld.blogspot.com/2009/05

Marawali, Aloysius., dkk. 2001. Dasar-dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur (BKS – PTN – INTIM), Makassar.
Nuryadi. 2000. Dasar-dasar Reproduksi Ternak. http://changes-theworld.blogspot. com/2009_05_01_archive.html.

Partodihardjo. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Produksi Mutiara. Jakarta.

Salisbury. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada Univercity. Yogyakarta.

Toelihere. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.

SPERMATOZOA

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Spermatozoa di bentuk di dalam testes melalui proses yang disebut spermatogenesis, tetapi mengalami pematangan lebih lanjut di dalam epididimis di mana sperma di simpan sampai ejakulasi.
Spermatogenesis di mulai pada waktu pubertas yaitu sewaktu hewan mencapai dewasa kelamin. Pubertas pada ternak jantan timbul pada waktu yang hampir bersamaan dengan ternak betina dalam spesies yang sama. Timbulnya pubertas pada ternak jantan di tandai dengan sifat kelamin sekunder dan kesanggupan berkopulasi dan adanya sperma hidup didalam ejakuasi.
Spermatozoa dihasilkan di dalam tubuli semineferi. Mereka berasal dari spermatogonia epitel germinalis yang terdapat di lapisan luar tubuli. Pertumbuhan sel-sel ini dengan suatu sel pembelahan mengarah ke lumen tubuh sehingga sel-sel akan melepaskan diri dari sel-sel sekitar dan berubah bentuk dan ciri-cirinya.
Apabila dilihat dari mikroskop elektron membran sel spermatozoa kelihatan identik dengan sel dari spermatid untuk lebih mengetahui tentang perkembangan spematozoa pada setiap bagian-bagian dari testes maka hal inilah yang malatarbelakangi dilaksanakannya praktikum mengenai Perkembangan Spermatozoa.



Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum Dasar Reproduksi Ternak mengenai Perkembangan Spermatozoa adalah untuk mengetahui perkembangan spermatozoa pada sapi.
Kegunaan dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat mengenal bentuk-bentuk pada setiap tahap perkembangan spermatozoa didalam testis dan saluran reproduksi jantan.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Spermatozoa
Spermatozoa adalah sel kecambah yang mana setelah masak kemudian bergerak melalui epidydimis, yang mampu membuahi ovum setelah terjadinya kapasitasi pada hewan betina. Spermatozoa itu menjadi aktif bergerak setelah menyentuh bahan-bahan yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar aksesoris (ampula, kelenjar vesicularis, kelenjar prostate, dan kelenjar cowper’s). Meskipun demikian, banyak diantara spermatozoa tersebut mengalami degenerasi dan diserap kembali oleh sel-sel epithelium epididimis dan vas deferens dan banyak pula ynag disekresikan dalam urin (Frandson, 1992).
Spermatozoid atau sel sperma atau spermatozoa (berasal dari bahsa yunani kuno yang berarti benih dan makhluk hidup) adalah sel dari sistem reproduksi jantan. Sel sperma akan membentuk zigot. Zigot adalah sebuah sel dengan kromosom lengkap yang akan berkembang menjadi embrio. Peran aktif spermatozoa sebagai gamet jantan sehingga penting dalam keberhasilan munculnya individu baru oleh karena itu di dalam reproduksi sering diperlukan adanya standart kualitas spermatozoa (Narato, 2009).
Spermatozoa yang normal memiliki kepala , leher, badan dan ekor. Bagian depan dinding kepala (yang mengandung asam dioxyribonucleik, di dalam kromosom), tampak sekitar 2/3 bagian tertutup acrosom. Tempat sambungan dasar acrosom dan kepala disebut cincin nucleus. Diantara kepala dan badan terdapat sambungan pendek, yaitu leher yang berisi centriole proximal , yang kadang-kadang dinyatakan sebagai pusat kenetik aktivitas spermatozoa. Bagian badan dimulai dari leher dan berlanjut ke cincin centriole. Bagian badan dan ekor mampu bergerak bebas, meskipun tanpa kepala. Ekor berupa cambuk, membantu mendorong spermatozoa untuk bergerak maju (Salisbury, 1985).

Gambar 36. Spermatozoa
Suatu proses pembentukan sel kelamin jantan berupa sel spermatozoa yang berlangsung di dalam tubuli seminiferi dalam testis disebut spermatogenesis. Spermatogenesis meliputi serangkaian tahapan dalam pembentukan spermatozoa yaitu (Frandson, 1992) :
1. Spermatogonia, sel-sel yang pada umumnya terdapat pada perifer tubulus seminiferus, jumlahnya bertambah secara mitosis, suatu tipe pembelahan yang mana sel-sel anakan hamper sama dengan sel induk.
2. Spermotosit Primer, dihasilkan oleh spermatogonia, mengalami migrasi menuju ke pusat tubulus dan mengalami pembelahan meiosis yang mana kromosom-kromosom bergabung dalam pasangan-pasangan dan kemudian satu dari masing-masing pasangan menuju ke masing-masing dari dua spermatosit sekunder. Jadi jumlah kromosom dibagi dalam spermatosit sekunder.
3. Dua Spermatosit Sekunder, yang terbentuk dari masing-masing spermatosit primer terbagi secara mitosis menjadi empat spermatid.
4. Masing-masing spermatid mengalami serangkaian perubahan nucleus dan sitoplasma (spermiogenesis) dari sel yang bersifat non motil menjadi sel motil (sel yang mampu bergerak) dengan membentuk flagelum (ekor) untuk membentuk spermatozoa.
5. Spermatozoa adalah sel kelamin jantan yang ukurannya sangat kecil dan memiliki bentuk yang khas yang tidak bertumbuh dan membelah diri.
Pada hakekatnya spermatozoa merupakan bagian dari semen. Semen tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu; spermatozoa dan sel-sel jantan yang bersuspensi di dalam suatu cairan yang disebut dengan plasma semen (Toelihere, 1982).
Semen berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti biji. Semen dalam ilmu reproduksi diartikan sekresi kelamin jantan yang secara normal di ejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi, dan dapat juga ditampung dalam tempat sementara sebagi inseminasi buatan (Partodiharjo, 1992).
Spermatozoa sendiri dihasilkan di dalam testis yang disebut dengan tubuli semiferus, sedangakan plasma semen adalah campuran seksresi yang dibuat oleh epididymis dan kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu kelenjar vasikularis dan kelenjar prostat. Reproduksi sperma atau plasma semen keduanya dikontrol dengan hormon (Toelihere, 1985).
Perbedaan anatomik kelenjar kelamin pelengkap pada berbagai jenis hewan menyebabkan pula perbedaan-perbedaan volume dan komposisi semen bagi spesies-spesies tersebut, seperti perbedaan bentuk kepala dari bulat pipih sampai bulat lancip (Iqbal, 2009).
Pada hewan yang tidak memiliki epididymis, testis mengambil fungsinya sebagai tempat perkembangan serta maturasi sperma. Pada hewan tersebut sperma yang matang, mempunyai motilitas dan mempunyai kemampuan untuk membuahi sel telur, sedangkan pada hewan yang mempunyai epididymis sperma yang berada pada tubulus seminiferus atau yang dikeluarkan dari testis sebelum motil, notilitasnya baru diperoleh setelah mengalami aktivasi atau pematangan fisiologia di dalam epididymis (Iqbal, 2009).

B. Proses Perkembangan Spermatozoa
Perkembangan spermatozoa bermula dari tiap spermatogonium bertambah ukurannya dan dinamakan spermatocyte primer. Pada spermatocyt primer, choromosom memendek dan menebal, bentuk spindel dan susunan tetrad secara random pada bidang equatorial. Kemudian dari tetrad menjadi 2 sel dengan n chromosom yang dinamakan spermatocyte sekunder atau 2 n chromatid. Spermatocyte primer kemudian pecah menjadi 4 spermatid masing-masing terdiri n chromosom, jumlahnya haploid. Kemudian diikuti pembelahan kedua, tiap spermatid mengalami metamorphose. Ini merupakan gamet yang masak disebut spermatozoa (Narato, 2009 ).

Gambar 37. Proses Perkembangan Spermatozoa (Narato, 2009)
Pembentukan spermatozoa dari spermatogonia di dalam testis disebut spermatogenesis. Proses ini meliputi poliferasi spermatogonia melalui pembelahan mitosis yang terulang dan tumbuh membentuk spermatocyte primer, kemudian melalui pembelahan reduksi (meiosis) membentuk spermatocyte sekunder. Sprmatozoit sekunder membelah menjadi spermatid yang mengadakan metamorphose menjadi gamet yang “motile” (dapat bergerak) dan mempunyai potensi fungsional yang dinamakan spermatozoa. Proses metamorphose spermatid sering dinamakan “spermatogenesis” (Narato, 2009).

1. Rete Testes
Rete testis adalah anastomosing halus jaringan tubulus terletak di hilus dari testis (mediastinum testis) yang membawa sperma dari tubulus seminiferus ke vasa efferentia. Pipa rete ektasia adalah suatu kelainan dari rete testis di mana banyak kista jinak yang hadir. Di daerah rete testis, sperma terkonsentrasi sebagai fluida yang diserap. Jika hal ini tidak terjadi, sperma yang masuk ke dalam epididimis tidak terkonsentrasi, mengakibatkan Ketidaksuburan (Anonim, 2009).
Perkembangan sel-sel germinal jantan terjadi di dalam kantong atau siste (cyste) yang dibuat oleh sel-sel sentroli. Spermatogenesis adalah perubahan bentuk dari sel kelamin jantan primodial yang disebut spermatogonia menjadi spermatozoa. Pembentukan siste berawal dengan pembelahan mitosis (Sjafi,dkk, 1993).
Dalam tahap awal terdiri dari massa pusat ditutupi oleh epitel permukaan. Di pusat massa, serangkaian kabel muncul. Tali ini berjalan bersama menuju masa depan hilus dan membentuk jaringan yang akhirnya menjadi rete testis. Pada saluran rete testes tersebut merupakan awal pembentukan sperma yang dimulai dari perkembangan kepala yang terdiri dari nukleus dan sentrilnya (Anonim, 2009).

Gambar 38. Bentuk Sperma pada Rete testes (Anonim, 2009).
Pada rete testes perkembangan spermatozoa berada pada fase golgi. Dimana pada fase ini terbentuk saat butiran proakrosom teerbentuk dalam alat Golgi spermatid. Butiran atau granula ini nanti bersatu mambentuk satu butiran akrosom. Butiran ini di lapisi membran dalam gembungan akrosom(acosomal vesicle). Gelembung ini melekat ke salah satu sisi inti yang bakal jadi bagian depan spermatozoon (Diah, 2009).
Rete testes menyalurkan semen ke duktuli efferent, saluran yang berpilin-pilin yang membentuk 5-8 badan bentuk kerucut dipuncak testes. Ada 2 macam sel epitel pada lapisan ke lumen ductuli efferent yaitu bersilia dan bermikrovilli memiliki banyak cekungan dipermukaan, karena banyak endositosis. Tubuli recti dan rete memiliki selapis sel epitel berbentuk batang mikrovilli. Beberapa sel itu juga ada yang berflagelum (Reni, 2006).

2. Caput Epididymis
Struktur : Pipa panjang berkelok, menghubungkan vasa eferens dan ductus deferens. Kepala epididimis melekat di ujung testis tempat vasa darah dan saraf masuk (Frandson, 1992)
Ductus epididymis, melilit banyak sekali, jika dibentangkan panjangnya mencapai 6 m. Lapisan epithel membuat cairan yang cocok bagi pematangan spermatozoa. Disebelah luar lapisan epithel lapisan otot polos dan yang paling luar sekali adalah lapisan jaringan ikat yang kaya dengan pembuluh kapiler. Dan lapisan yang paling luar sekali adalah lapisan jaringan ikat yang kaya dengan pembuluh kapiler (Reni, 2009).
Caput epididymis adalah kepala, yang merupakan tempat bermuara ductuli eferentes. Pada caput perkembangan spermatozoa berada pada fase tutup, dimana pada fase ini merupakan saat gembungan akrosom makin besar, membentuk lipatan tipis melingkupi bagian kutub yang bakal jadi bagian depan. Akhirnya terbentuk semacam tutup spermatozoon (Diah, 2009).

Gambar 39. Bentuk Sperma pada Caput Apididymis (Anonim, 2009).


3. Corpus Epididymis
Badan Epididymis atau corpus epididymis sejajar dengan axis longitudinal testis. Corpus epididymis memanjang dari apeks menurun sepanjang sumbu memanjang testis, merupakan saluran tunggal yang bersambungan dengan cauda epididymis. Panjang total dari epididymis diperkirakan mencapai 34 meter (Nuryadi, 2009).
Perkembangan spermatozoa yang terjadi pada corpus epididymis disebut sebagai fase acrosom. Dimana terjadi redistribusi bahan akrosom. Nukleoplasma berkondensasi, sementara spermatid memanjang. Akrosom kaya akan karbohidrat dan enzim hidrolisa : hyaluronidase, neurominidase, posfasatase asam dan protefaseyang aktivasnya mirip tripsin.. sementara inti spermatid memanjang dan menggepeng. Butiran nukleoplasma mengalami transformasin menjadi filamen-filamen (benang halus) yang pendek dan tebal serta kasar (Diah, 2009).
Perkembangan acrosom yang meliputi lebih dari setengah permukaan inti. Aparatus golgi pada spermatid membentuk sisterna yang mengandung granul-granul (butiran). Sisterna akan bergabung membentuk kantung akrosom bersama granul-granul. Kantung akrosom berikut granul akan bermigrasi menuju inti dan melekat ke membran inti, kemudian menyebar ke seluruh permukaan inti (Reni, 2006).
Selama fase ini spermatosid menempel pada sel sertoli. Masing-masing spermatid mengalami metamorfosis menjadi spermatozoon. Inti material memadat pada satu bagian dari sel membentuk kepala dari spermatozoon, sedangkan sisanya memanjang membentuk ekor spermatozoon. Acrosom, sebuah topi yang mengelilingi kepala spermatozoon,tersusun dari aparatus golgi spermatid. Selama pembentukan ekor spermatozoon, maka terjadi pelepasan cytoplasma, terlihat adanya cytoplasmic droplet pada daerah leher spermatozoa (Diah, 2009).




Gambar 40. Bentuk Sperma pada Corpus Epididymis (Anonim, 2009)


4. Cauda Epididymis
Cauda epididymis merupakan lanjutan dari corpus epididymis dan berada dibagian bawah testes yang selanjutnya bersambung dengan vas deferens. Pada bagian ekor (cauda) Epididymis berfungsi sebagai tempat penimbunan sperma karena disinilah yang cocok untuk penghidupan spermatozoa yang masih belum bergerak. Kondisi ini di dalam cauda Epididymis adalah optimal untuk mempertahankan kehidupan sperma yang berada dalam keadaan metabolisme sangat minim apabila Epididymis ini diikat sperma akan tetap hidup dan fertil di dalam Epididymis sampai 60 hari (Toelihere, 1977).
Cauda epididymis merupakan tempat penyimpanan dan penimbunan sperma yang secara berangsur, sejak dari caput hingga cauda sel epithel berstereocilia itu semakin rendah. Lapisan otot polos epididymis itu semakin tebal (Reni, 2009).
Pada kauda epididymis spermatozoa berada pada fase spermiosis, dimana sperma mengalami pembelahan miosis secara berulang-ulang hingga akhirnya terjadi pembentukan leher, lempeng tengah ekor. Diakhir miosis II, dua buah sentriol berpindah mendekati inti dengan posisi berlawanan dengan akrosom yang sedang berkembang. Satu sentriol (bagian proksimal) menempati posisi leher di bagian yang berlekatan ekor ke kepala. Sedangkan sentriol bagian distal mulai membentuk aksodema dari bakal ekor. Aksonema kemudian mengalami elongasi (perpanjangan) keluar dari sitoplasma. Sejalan dengan perkembangan ekor, sitoplasma akan mengalami perpindahan kea rah distal (Reni, 2009).

Gambar 41. Bentuk Sperma pada Cauda Epididymis (Anonim, 2009)
Disamping itu pada cauda epididymis juga terjadi fase pematangan. Dimana
terjadi perubahan bentuk spermatid sesuai dengan ciri spesies. Butiran inti akhirnya bersatu, dan inti menjadigepeng bentuk pyriform, sebagai ciri spermatozoa. Ketika akromosom terbentuk di bakal jadi bagian depan spermatozoa, sentriol pun bergerak ke kutub bersebrangan. Sentriol terdepan membentuk flagellu, sentriol yang satu lagi membentuk kelepak sekeliling pangkal ekor. Mitokondria membentuk cincin-cincin di bagian middle piece ekor dan seludang fibrosa di luarnya. Mikrotubul muncul dan berkumpul di bagian samping spermatid membentuk satu batang besar yang disebut manchette. Menshette ini menjepit inti sehingga jadi lonjong, sementara spermatid sendiri memanjang dan sitoplasma terdesak ke belakang inti (Yatim,1994).
5. Vas Deferens
Vas deferens (ductus deferens) adalah pipa berotot yang pada saat ejakulasi mendorong spermatozoa dari Epididymis ke duktus ejakulatoris dalam uretra prostatik. Vas deferens meninggalkan ekor Epididymis bergerak melalui kanal inguinal yang merupakan bagian dari korda spermatic dan pada cincin inguinal internal memutar ke belakang, memisah dari pembuluh darah dan saraf dari korda (Frandson, 1992).
Vas deferens berfungsi untuk mengangkut sperma dari ekor Epididymis ke uretra. Dindingnya mengandung otot-otot licin yang penting dalam mekanisasi pengangkutan semen waktu ejakulasi. Selanjutnya dua vas deferens mendekati uretra, bersatu dan kemudian ke dorso caudal kandung kemih, serta dalam lipatan peritoneum yang disebut lipatan urogenital (genital fold) yang dapat disamakan dengan ligamentum lebar pada betina (Frandson, 1992).
Vas deferens, berlumen lebih besar dan berdinding lebih tebal dari pada lapisan sebelumnya. Lapisan terdalam disebut sebagai lapisan mukasa yang membentuk lapisan longitudinal. Terdiri dari sel spithel beberapa lapis. Yang paling dalam, ke lumen berbentuk batang dan berstereosilia. Lapisan propria, jaringan ikat di bawah mukosa, mengandung jaringan serat elastis. Vas deferens meninggalkan skrotum lewat integunal canal, dalam spermatid cord. Inetgral canal adalah lubang yang menghubungkan rongga abdomen dengan scrotum, yang secara tertutup dan hanya di lewati spermatid cord (Reni, 2006).
Pada vas deferens perkembangan spermatozoa secara bertahap menysusun diri di seputar bagian tengah (mid-piece) dari ekor sperma. Pada saluran reproduksi jantan spermatid berbentuk bulat seperti sel pada umumnya, akan tetapi sel spermatid tersebut mengalami serangkaian perubahan morfologis sehingga menghasilkan spermatozoa. Proses ini dikenal dengan nama spermiogenesis. Perubahan utama yang terjadi meliputi kondensasi kromatin inti, pembentukan ekor sperma dan perkembangan tudung akrosom. Dan pada akhirnya terbentuk spermatozoa yang telah matang sehingga siap untuk de ejakulasikan (Reni, 2009).
Pada saluran vas deferens terjadi penampungan spermatozoa sehingga nantinya akan terbentuk semen. Semen terdiri atas cairan yang berasal dari vas deferens (kira-kira 10% dari keseluruhan sperma), cairan dari vestikula seminalis (kira-kira 60%), cairan dari kelenjar prostat (kira-kira 30%), dan sejumlah kecil cairan dari dari kelenjar mukosa. Cairan prostat membuat semen terlihat seperti susu, sementara cairan dari vestikula seminalis dan dari kelenjar mukosa membuat semen menjadi agak kental (Diah, 2009).

Gambar 42. Bentuk Sperma pada Vas Deferens (Anonim, 2009)


Pewarnaan Sperma
Pewarna eosin digunakan karena mempunyai sifat asam sehingga mampu mendeteksi sperma yang bersifat basa hidup atau tidak. Jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup maka cairan eosin tidak dapat masuk kesperma, dikarenakan selaput sperma yang sama asamnya dengan eosin sehingga saling tolak-menolak. Sedangkan jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ketubuh sperma. Setelah ditetesi eosin, maka preparat diletakkan dibawah mikroskop, diamati viabilitasnya (ketahanan hidup) dengan perbesaran 100x. Setelah didapatkan fokus kemudian diamati dan difoto menggunakan kamera digital dan diperoleh hasil pewarnaan sperma (Narato, 2009).
Viabilitas sperma menunjukan proporsi sperma yang hidup, dapat diketahui dengan cara pewarnaan eosin. Penilaian viabilitas sperma dapa dilakukan dengan pewarnaan eosin 0,5% (59/ liter eosin), di dalam larutan NaCl 0,9%. Prinsipnya, sperma yang mati akan menyerap eosin sehingga berwarna merah muda. Faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas dari sperma yaitu kemampuan spermatozoa hidup secara normal setelah keluar dari testis hanya berkisar 1-2 menit. Selain itu, faktor suhu juga dapat mempengaruhi daya hidup dari sperma. Kemampuan hidup (viabilitas) spermatozoa sangat dipengaruhi oleh suhu dan secara umum akan hidup lebih lama dalam suhu rendah (Narato, 2009)
Sperma yang masih hidup mempunyai lapisan penutup tubuh yang bersifat asam. Jika sperma yang masih hidup tersebut diberi eosin maka larutan tidak bisa masuk ke dalam tubuh sperma, karena sama-sama bersifat asam. Namun pada sperma yang telah mati maka lapisan luar sperma akan rusak dan sperma bersifat basa sehingga sperma berwarna merah (Narato, 2009).
Dengan teknik pewarnaan, selain dapat melihat viabilitas atau motilitas sperma pada saluran reproduksi, juga dapat mengetahui pergerakan seluruh bagian spermatozoa. Berdasarkan penelitian spermatozoa yang diambil dari caput, corpus dan cauda epididymis, dinyatakan bahwa gerakan paling kuat beradasal dari caput epididymis dan yang paling lemah adalah sperma yang berasal dari caput epididymis. Disamping pada caput epididymis mengandung spermatozoa yang lebih muda dibanding dengan spermatozoa pada cauda epididymis yang lebih tua dan telah masak (Salisbury, 1985).

Gambar 43. Hasil Pewarnaan Pada Saluran Reproduksi Jantan (A. Pada Rete Testes ; B. Pada Caput Epididymis, C. Pada Corpus Epididymis, D. pada Cauda Epididymis dan E. pada Vas deferens) (Anonim, 2009)


C. Mekanisme Hormonal

Gambar 44. Skema Mekanisme Hormonal

Hipotalamus menghasilkan hormone Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang menstimulasi hipofisa anterior untuk mensekresikan FSH dan LH. Dimana LH menstimulasi pelepasan testosterone dari sel Leydig pada Testis. Testosteron berfungsi untuk meningkatkan libido akan tetapi testosterone memiliki umpan balik negative terhadap hipotalamus dan hipofisa untuk menekan pelepasan hormone FSH dan LH. Sedangkan pada FSH mempengaruhi sel-sel Sertoli untuk mensekresikan Inhibin yang memiliki umpan balik negative terhadap hipofisa anterior yang menekan pelepasan FSH dan LH (Sonjaya, 2008).
FSH mempengaruhi sel-sel Sertoli untuk mensekresikan androgen binding protein (ABP) dan inhibin. ABP merupakan pembawa testosterone, yang membuatnya lebih mudah mempengaruhi proses spermatogenesis di tubuli seminiferi lalu membawanya melalui rete testis dan vasa efferentia menuju epididimis, ABP diserap di epididimis. Mekanisme control umpan balik bekerja antara testis, hipotalamus dan hipofisa anterior dalam pengaturan pelepasan gonadotropin (FSH dan LH) dan steroid gonadal (testosterone). Testosteron memberikan efek umpan balik negative pada hipotalamus dan hipofisa anterior. Konsentrasi tinggi testosterone akan menghambat pelepasan GnRH, FSH dan LH, sedangkan konsentrasi rendah sebaliknya (Sonjaya, 2008).
Spermatogonium berkembang menjadi sel spermatosit primer. Sel spermatosit primer bermiosis menghasilkan spermatosit sekunder, spermatosit sekunder membelah lagi menghasilkan spermatid, spermatid berdiferensiasi menjadi spermatozoa masak. Bila spermatogenesis sudah selesai, maka ABP testosteron (Androgen Binding Protein Testosteron) tidak diperlukan lagi, sel sertoli akan menghasilkan hormon inhibin untuk memberi umpan balik kepada hipofisis agar menghentikan sekresi FSH dan LH ( Hazriah, 2009 ).
Spermatozoa akan keluar melalui uretra bersama-sama dengan cairan yang dihasilkan oleh kelenjar vesikula seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar cowper. Spermatozoa bersama cairan dari kelenjar-kelenjar tersebut dikenal sebagai semen atau air mani. Pada waktu ejakulasi, seorang laki-laki dapat mengeluarkan 300 - 400 juta sel spermatozoa (Hazriah, 2009 ).
Proses spermatogenesis distimulasi oleh sejumlah hormon, yaitu (Eni, 2009) :
a. Testoteron
Testoteron disekresi oleh sel-sel Leydig yang terdapat di antara tubulus seminiferus. Hormon ini penting bagi tahap pembelahan sel-sel germinal untuk membentuk sperma, terutama pembelahan meiosis untuk membentuk spermatosit sekunder.
Hormon testosteron sangat berpengaruh terhadap kesuburan kelenjar asesorius dan ciri khas kelamin jantan (secondary sex characteristic). Kastratsi sebelum datangnya dewasa kelamin menyebabkan perkembangannya kelenjar tersebut berhenti, sedangkan kastrasi pada umur dewasa menyebabkan kemunduran secara bertahap kelenjar asesorius. Secara histologi telah dibuktikan bahwa sel kelenjar mengecil dan aktivitas bersekresi mundur. Selanjutnya parenkim kelenjar mengalami involusi dan digantikan dengan jaringan ikat ( Yatim, 1990).
Sel leidig menghasilkan hormon testosteron yang berfungsi ( Yatim, 1990).:
• mengatur aktivitas kelenjar assesorius, terutama kelenjar prostat.
• Memelihara tanda khas jantan (secondary sex characteristics)
• Bersama dengan hormon FSH dan Hiphofisa mengatur aktivitas spermatogenesis
b. LH (Luteinizing Hormone)
LH disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. LH berfungsi menstimulasi sel-sel Leydig untuk mensekresi testoteron.
Hormon LH atau ICSH mengatur aktivitas sel leidig pengaruh ini semakin jelas bila sekaligus ditambah dengan FSH. Di dalam tubuh hewan memang terjadi inter-relasi antara kelenjar endokrin tertentu dalam mengatur aktivitas alat reproduksi, misalnya kelenjar hipophisa, adrenal dan testis sendiri ( Yatim, 1990).
c. FSH (Follicle Stimulating Hormone)
FSH juga disekresi oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior dan berfungsi menstimulasi sel-sel sertoli. Tanpa stimulasi ini, pengubahan spermatid menjadi sperma (spermiasi) tidak akan terjadi.
d. Estrogen
Estrogen dibentuk oleh sel-sel sertoli ketika distimulasi oleh FSH. Sel-sel sertoli juga mensekresi suatu protein pengikat androgen yang mengikat testoteron dan estrogen serta membawa keduanya ke dalam cairan pada tubulus seminiferus. Kedua hormon ini tersedia untuk pematangan sperma.
e. Hormon Pertumbuhan
Hormon pertumbuhan diperlukan untuk mengatur fungsi metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara khusus meningkatkan pembelahan awal pada spermatogenesis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tahap Perkembangan Spematozoa (Tanpa Pewarnaan)
1. Rete Testis
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa rete testes merupakan tempat awal perkembangan spermatozoa, dimana sperma tersebut dibuat oleh sel-sel sentroli yang mengalami pembelahan mitosis. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) yang menyatakan bahwa perkembangan sel-sel germinal jantan terjadi di dalam kantong atau siste (cyste) yang dibuat oleh sel-sel sentroli. Spermatogenesis adalah perubahan bentuk dari sel kelamin jantan primodial yang disebut spermatogonia menjadi spermatozoa. Pembentukan siste berawal dengan pembelahan mitosis.
Pada tahap awal perkembangannya pada rete testes, terjadi pemadatan inti dan terjadi perubahan kondensasi kromatin yang ditutupi oleh lapisan epithel. Selanjutnya terjadi perkembangan kepala sperma yang terdiri dari nukleus serta sentriol. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2009) bahwa dalam tahap awal terdiri dari massa pusat ditutupi oleh epitel permukaan. Pada saluran rete testes tersebut merupakan awal pembentukan sperma yang dimulai dari perkembangan kepala yang terdiri dari nukleus dan sentrilnya.
Selain itu pada rete testes juga terjadi pembentukan butiran preakrosom yang nantinya akan mengalami metamorfosis menjadi akrosom. Hal ini sesuai dengan pendapat Diah (2000) bahwa pada rete testes perkembangan spermatozoa berada pada fase golgi. Dimana pada fase ini terbentuk saat butiran proakrosom teerbentuk dalam alat Golgi spermatid. Butiran atau granula ini nanti bersatu mambentuk satu butiran akrosom. Butiran ini di lapisi membran dalam gembungan akrosom(acosomal vesicle), yang nantinya membentuk spermatozoon.
2. Caput Epididymis
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada preparat terlihat sperma yang memiliki butiran sitoplasma pada bagian leher sperma yang merupakan bentukan dari massa protoplasma. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisburiy (1985) bahwa massa protoplasma yang berupa butiran sitoplasma biasa berada pada bagian leher sperma tozoa dan akan bergerak menuju bagian ekor dan secara normal akan terlepas sebelum diejakualasikan, pada waktu spematozoa itu berada dalam epididimis bagian kepala.
Pada caput epididymis terlihat perkembangan preacrosom menjadi acrosom dimana terlihat bahwa acrosom yang semakin membesar. Acrosom tersebut nantinya akan menjadi pelindung bagi kepala sperma. Hal ini sesuai dengan pendapat Diah (2009) bahwa Caput epididymis adalah kepala, yang merupakan tempat bermuara ductuli eferentes. Pada caput perkembangan spermatozoa berada pada fase tutup, dimana pada fase ini merupakan saat gembungan akrosom makin besar, membentuk lipatan tipis melingkupi bagian kutub yang bakal jadi bagian depan. Akhirnya terbentuk semacam tutup spermatozoon
Bentuk spematozoa pada bagian ini lebih sempurna jika dibandingkan dengan bentuk sperma pada bagian rete testes., hal ini terjadi karena bagian epididimis terjadi proses pematangan begitu pula dengan protoplasmanya yang berpindah ke bagian distal. Hal ini sesuai dengan pendapat Partodiharjo (1992) bahwa sperma menjadi matang di dalam bagian epididimis dan sitoplasmanya berpindah dari pangkal kepala ke ujung bawah bagian tengah sperma. Pematangan sperma dicapai karena adanya pengaruh sekresi dari sel-sel epitel.
3. Corpus Epididymis
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada preparat terlihat bentuk spematozoa dalam epididmis bagian korpus, dimana butir pada sitoplasma sedikit lebih jauh berada menjauhi bagian kepala atau menuju ke bagian ekor. Hal ini berati bahwa proses pematangan spermatozoa dan terus berjalan melewati corpus epididymis yang ditandai dengan letak sitoplasma pada bagian ekor. Hal ini sesuai dengan pendapat Nuryadi (2009) bahwa selama perjalan melalui epididmis sperma mengalami pematagan yang ditandai dengan adanaya perpindahan sitoplasma ke bagian ekor.
Lebih lanjut dikatakan oleh Diah (2009) bahwa masing-masing spermatid mengalami metamorfosis menjadi spermatozoon. Inti material memadat pada satu bagian dari sel membentuk kepala dari spermatozoon, sedangkan sisanya memanjang membentuk ekor spermatozoon. Acrosom, sebuah topi yang mengelilingi kepala spermatozoon,tersusun dari aparatus golgi spermatid. Selama pembentukan ekor spermatozoon, maka terjadi pelepasan cytoplasma, terlihat adanya cytoplasmic droplet pada daerah leher spermatozoa.
Bentuk spermatozoa yang ada pada bagian ini lebih sempurna di bandingkan pada bagian yang lain dan juga lebih subur. Hal ini sesuai dengan pendapat Tolihere (1977) bahwa sperma di daerah korpus tidak jauh beda dengan sperma pada bagian cauda. Persentase butiran protoplasma proksimal jauh lebih tinggi di dalam corpus dibandingkan dengan bagian caput. Spermatozoa yang diambil langsung dalam corpus adalah 2-10 kali lebih subur dari pada sperma pada caput epididymis.

4. Cauda Epididymis
Berdasrkan pengamatan yang dilakukan pada preparat terlihat bentuk spermatozoa telah mencapai kedewasaan yang maksimal , ditandai dengan sudah tidak terlihatnya massa protoplasma berupa butiran-butiran cytoplasma pada bagian ekornya meskipun masih ada sperma yang mempunyai butiran cytoplasma tapi tidak terlalu banyak . Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) bahwa selama proses pematangan dalam epididmis butiran-butian cytoplasma akan bergerak dari bagian leher sperma menuju ke bagian ekor dan menghilangkan sebelum diejakuasikan. Pengambilan sampel spermatozoa pada bagian cauda epididimis yang menjauhi testes menunjukkan tidak ada lagi butiran-butiran cytoplasma.
Jumlah spermatzoa pada bagian ini sudah banyak karena mempunyai cauda merupakan tempat penyimpanan sperma yang optimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Partohadiharjo (1992) bahwa bagian ekor epididmis itu merupakan penyimpanan spermatozoa jauh lebih tingi dibandingkan tempat lainnya.
Spermatozoa yang berada pada bagian ini merupakan sperma yang siap untuk membuahi. Hal ini sesuai pendapat Hardjopranjoto (1988), bahwa ekor dari epididimis dibagi menjadi 2 bagian : bagian atas yang letaknya dekat dengan testis dan mengandung spermatozoa yang lebih muda, bagian bawah yang langsung menyambung dengan vas deferens dan mengandung spermatozoa yang lebih tua dan masak.

5. Vas Deferens
Berdasarakan pengamatan yang dilakukan pada preparat terlihat bentuk sperma yang sempurna dimana tidak ada lagi butiran cytoplasma serta mempunyai ekor yang panjang , dimana sperma ini menandakan siap untuk membuahi ovum. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) bahwa bagian ekor atau cauda epididymis merupakan bagian bawah yang langsung menyambungkan dengan vas deferens dan mengandung permatozoa yang lebih tua dan masak di mana sperma tersebut sudah siap untuk membuahi ovum.
Vas deferens merupakan saluran yang berfungsi untuk mengangkut sperma yang telah tertimbun pada cauda epididymis, kemudian disalurkan menuju ke ureter pada saat terjadi ejakulasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) bahwa Vas deferens berfungsi untuk mengangkut sperma dari ekor Epididymis ke uretra. Dindingnya mengandung otot-otot licin yang penting dalam mekanisasi pengangkutan semen waktu ejakulasi.
Lebih lanjut diungkapkan oleh Diah (2009) bahwa pada saluran vas deferens terjadi penampungan spermatozoa sehingga nantinya akan terbentuk semen. Semen terdiri atas cairan yang berasal dari vas deferens (kira-kira 10% dari keseluruhan sperma), cairan dari vestikula seminalis (kira-kira 60%), cairan dari kelenjar prostat (kira-kira 30%), dan sejumlah kecil cairan dari dari kelenjar mukosa. Cairan prostat membuat semen terlihat seperti susu, sementara cairan dari vestikula seminalis dan dari kelenjar mukosa membuat semen menjadi agak kental.

B. Tahap Perkembangan Spermatozoa (dengan Pewarnaan)
1. Rete Testis
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa rete testes merupakan fase awal perkembangan spermatozoa, dimana bentuk sperma pada bagian tersebut belum sempurna. Olehnya itu jumlah sperma yang masih hidup juga lebih banyak dibandingkan dengan jumlah yang telah mati. Hal ini terlihat pada sedikitnya bagian preparat yang terwarnai oleh eosin. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) yang menyatakan bahwa untuk melakukan uji motilitas maka dapat dilakukan pewarnaan eosin, diamana jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup maka cairan eosin tidak dapat masuk kesperma, Sedangkan jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ketubuh sperma. Sehingga akan berwarna kemerahan.
Ada berbagai faktor yang dapat menyebabkan matinya spermatozoa di dalam saluran reproduksi, diantaranya yaitu adanya perbedaan kemampuan dari masing-masing sperma untuk hidup disamping itu dapat pula disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi karena sperma hanya dapat hidup pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas dari sperma yaitu kemampuan spermatozoa hidup secara normal setelah keluar dari testis hanya berkisar 1-2 menit. Selain itu, faktor suhu juga dapat mempengaruhi daya hidup dari sperma. Kemampuan hidup (viabilitas) spermatozoa sangat dipengaruhi oleh suhu dan secara umum akan hidup lebih lama dalam suhu rendah.

2. Caput Epididymis
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka dapat diketahui pada caput epididymis terjadi perkembangan yang lebih lanjut dari spermatozoa tersebut. Pada caput epididymis terlihat perkembangan preacrosom menjadi acrosom dimana terlihat bahwa acrosom yang semakin membesar. Acrosom tersebut nantinya akan menjadi pelindung bagi kepala sperma. Hal ini sesuai dengan pendapat Diah (2009) bahwa Caput epididymis adalah kepala, yang merupakan tempat bermuara ductuli eferentes. Pada caput perkembangan spermatozoa berada pada fase tutup, dimana pada fase ini merupakan saat gembungan akrosom makin besar, membentuk lipatan tipis melingkupi bagian kutub yang bakal jadi bagian depan. Akhirnya terbentuk semacam tutup spermatozoon.
Dari pewarnaan eosin pada sperma yang berasal dari caput epididymis terlihat bahwa jumlah sperma yang mati masih dalam jumlah yang sedikit, hal ini terlihat dengan sedikitnya sperma yang terwarnai. Dimana sperma yang telah mati akan bersifat basa sehingga dengan pemberian pewarna eosin yang sifatnya asam akan menyebabkan daya tarik menarik dan akhirnya sperma yang mati akan terwarnai. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) bahwa pewarna eosin digunakan karena mempunyai sifat asam sehingga mampu mendeteksi sperma yang bersifat basa hidup atau tidak. Jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup maka cairan eosin tidak dapat masuk kesperma, dikarenakan selaput sperma yang sama asamnya dengan eosin sehingga saling tolak-menolak. Sedangkan jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ketubuh sperma.

3. Corpus Epididymis
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa pada corpus epididymis terbentuk sperma yang lebih sempurna, dimana spermatid mengalami metamorphosis dan membentuk kepala, leher dan ekor yang tersusun dari materi seluler. Hal ini sesuai dengan pendapat oleh Diah (2009) bahwa masing-masing spermatid mengalami metamorfosis menjadi spermatozoon. Inti material memadat pada satu bagian dari sel membentuk kepala dari spermatozoon, sedangkan sisanya memanjang membentuk ekor spermatozoon. Acrosom, sebuah topi yang mengelilingi kepala spermatozoon,tersusun dari aparatus golgi spermatid. Selama pembentukan ekor spermatozoon, maka terjadi pelepasan cytoplasma, terlihat adanya cytoplasmic droplet pada daerah leher spermatozoa.
Dari pewarnaan spermatozoa pada bagian corpus epididymis, maka terlihat jumlah sel sperma yang mati atau tingkat motilitas/viabilitas pada bagian ini lebih tinggi dari pada saluran yang lainnya. Hal ini disebabkan karena daya tahan sperma yang menurun setelah bergerak dari rete testes disamping itu terjadi persaingan antara sperma yang lain untuk mencapai ejakulasi dan membuahi ovum sehingga akhirnya banyak sperma yang mati. Hal ini terlihat dengan jumlah sperma yang terwarnai lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa berdasarkan penelitian spermatozoa yang diambil dari caput, corpus dan cauda epididymis dinyatakan bahwa semakin lama maka jumlah spermatozoa yang hidup akan berkurang tetapi pergerakan sperma akan semakin kuat.

4. Cauda Epididymis
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan tehadap sperma yang terdapat pada cauda epididymis maka dapat diketahui bahwa spermatozoa yang terdapat pada cauda lebih matang atau lebih tua dibanding dengan sperma yang terdapat pada bagian epididymis yang lainnya. Hal ini terlihat dari bentuk sperma pada cauda epididymis yang lebih sempurna dibandingkan bagian yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa pada caput epididymis mengandung spermatozoa yang lebih muda dibanding dengan spermatozoa pada cauda epididymis yang lebih tua dan telah masak.
Pewarnaan eosin pada sperma selain dapat melihat tingkat viabilitas atau motilitasnya juga dapat melihat pergerakan sperma yang telah mati. Dimana pergerakan sperma pada bagian cauda epididymis lebih kuat dibandingkan dengan bagian lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985), yang menyatakan bahwa dengan teknik pewarnaan, selain dapat melihat viabilitas atau motilitas sperma pada saluran reproduksi, juga dapat mengetahui pergerakan seluruh bagian spermatozoa. Selanjutnya Salisbury (1985) juga mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian spermatozoa yang diambil dari caput, corpus dan cauda epididymis, dinyatakan bahwa gerakan paling kuat beradasal dari caput epididymis dan yang paling lemah adalah sperma yang berasal dari caput epididymis.

5. Vas Deferens
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada spermatozoa yang terdapat pada bagian vas deferens, maka dapat diketahui bahwa keadaan sperma pada bagian ini telah sempurna dan telah siap untuk diejakulasikan karena telah tercampur dengan materi-materi lain hasil sekresi kelenar pelengkap sehingga membentuk semen. Hal ini sesuai dengan pendapat Diah (2009) yang menyatakan bahwa pada saluran vas deferens terjadi penampungan spermatozoa sehingga nantinya akan terbentuk semen. Semen terdiri atas cairan yang berasal dari vas deferens (kira-kira 10% dari keseluruhan sperma), cairan dari vestikula seminalis (kira-kira 60%), cairan dari kelenjar prostat (kira-kira 30%), dan sejumlah kecil cairan dari dari kelenjar mukosa.
Jumlah spermatozoa yang terdapat pada bagian ini semakin sedikit terlihat dari bagian yang terwarnai oleh eosin yang lebih banyak. Hal ini disebabkan karena jumlah sperma yang mati meningkat sehingga sperma tersebut menyerap zat warna dan akhirnya berwarna kemeraha. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) bahwa jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup maka cairan eosin tidak dapat masuk kesperma, dikarenakan selaput sperma yang sama asamnya dengan eosin sehingga saling tolak-menolak. Sedangkan jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ketubuh sperma.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat di tarik kesimpulan bahwa :
1. Pada rete testes terjadi perkembangan awal spermatozoa, dimana bentuknya belum sempurna disamping itu jumlah sperma yang hidup lebih banyak daripada jumlah sperma yang telah mati.
2. Perkembangan spermatozoa pada caput epididymis merupakan fase tutup ditandai dengan terbentuknya preakrosom yang akan berkembang menjadi akrosom dan pelindung kepala sperma. Sperma pada caput epididymis masih muda dengan jumlah motilitasnya yang masih rendah.
3. Perkembangan spermatozoa yang terjadi pada corpus epididymis disebut sebagai fase acrosom. Dimana terjadi redistribusi bahan akrosom. Bentuk sperma lebih sempurna dengan viabilitas dan pergerakan sperma semakin meningkat.
4. Pada cauda epididymis spermatozoa berada pada fase spermiosis, dimana sperma mengalami pembelahan miosis secara berulang-ulang hingga akhirnya terjadi pembentukan leher, lempeng tengah ekor sehingga terjadi pematangan sperma. Bentuk sperma menjadi sempurna dengan pergerakan yang kuat tetapi motilitas juga meningkat.
5. Pada vas deferens terbentuk sperm ayang sempurna dan matang yang siap untuk diejakulasikan bersama cairan-cairan kelenjar pelengkap dan akan membentuk semen, yang akan disemprotkan ke ureter pada saat ejakulasi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Proses Perkembangan Spermatozoa. http://translate.googleuser content.com/en.wikipedia.org/perkembangan_spermatozoa.html.
Diah. 2009. Sistem reproduksi jantan. http://diahayu.web.ugm.ac.ic/wordpress/ sistem-reproduksi-jantan.html.
Eni. 2009. Proses Spermatogenesis, Proses Ereksi, Ejakulasi, Hormonal Pada Genital Jantan Dan Kelainan Nya. http://enifreaks.blogspot.com/06/proses-spermatogenesis&ereksi.html.
Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada Univercity. Yogyakarta.
Hizriah Alief . 2009. Sistem Reproduksi Jantan. http://izrablog.blogspot.com/2009_ 06_17_archive.html
Iqbalali. 2009. Spermatozoa. http://iqbalali.wordpress.com/2009/05/16/Spermatozoa. html.
Muchtaromah, Bayyinatul. 2006. Panduan Praktikum SPH II. UIN : Malang
Narato. 2009. Teknik Pengawetan dan Pewarnaan Sperma. http://sma4rtzyoulyz. blogspot.com/2009_06_01_archive.html.
Nuryadi. 2009. Dasar-dasar Reproduksi Ternak. http://changes-theworld.blogspot. com/2009_05_01_archive.html. Diakses, 07 Oktober. 2009.
Partodihardjo. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Produksi Mutiara. Jakarta.
Reni Kurniati,dkk. 2006. Diktat Kuliah Reproduksi dan Embriologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Mulawarman, Samarinda. http://www.scribd.com/doc/9739606/Diktat-Kuliah-Reproduksi-Embriologi
Salisbury. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada Univercity. Yogyakarta.
Toelihere. 1977. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
Yatim, Wildan. 1994. Reproduksi dan Embryologi. Bandung : Tarsito

ORGAN REPRODUKSI BETINA

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Reproduksi adalah pembentukan individu baru dari individu yang telah ada dan merukan cirri khas dari semua organisme hidup. Proses reproduksi tidak diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme, tetapi tanpa reproduksi species akan punah.
Kelangsungan individu sebagian ditujukan untuk memenuhi kemampuan reproduksi yang mutlak bagi kelestarian spesies. Untuk terjadinya proses reproduksi seksual, hewan perlu mempunyai organ reproduksi yang mampu menghasilkan gamet, setelah itu harus melalui perkawinan.
Organ reproduksi primer pada hewan betina adalah ovarium, tanpa ovarium pada hewan betina maka hewan tersebut tidak akan memperoleh keturunan atau anak. Pada mamalia betina vungsi ovarium adalah siklus di alam dan berkaitan dengan perubahan siklus dalam organ kelamin betina.
Oleh karena itu, pada praktikum reproduksi ternak yang telah dilaksanakan yaitu pada percobaan pengenalan organ kelamin betina. Di dalam praktikum ini, bertujuan untuk mengetahui dan melihat secara langsung nama organ, letak serta fungsi organ-organ reproduksi pada hewan betina.



Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum mengenai Pengenalan Organ Kelamin Betina adalah untuk mengetahui bentuk ukuran dan bentuk anatomis dari bagian-bagian organ kelamin betina serta mengetahui fungsi dari masing-masing bagian tersebut.
Kegunaan dari praktikum mengenai Pengenalan Organ Kelamin Betina adalah agar dapat mengenal dan mengetahui fungsi dari masing-masing bagian organ kelamin betina.

METODOLOGI PRAKTIKUM


Metode Praktikum
Pertama-tama menyiapkan organ kelamin betina lalu membersihkan dengan air dan kemudian membersihkan dari lemak yang membungkus bagian-bagian organ. Mengidentifikasi setiap bagian-bagian organ dan mengenali letak serta fungsi setiap bagian-bagian organ tersebut. Lalu mengukur panjang serta diameter masing-masing bagian organ kelamin kemudian mencatat data yang diperoleh ke dalam tabel.

PEMBAHASAN

Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 1. Bentuk, Warna dan Ukuran Bagian-Bagian Organ Kelamin Sapi Betina yang sedang Bunting.

Bagian Organ Parameter Yang Diukur
Bentuk Warna Panjang (cm) Lingk. Diameter (cm)
Ovarium Kiri Oval Orange - 1,7
Ovarium Kanan Oval Kuning - -
Oviduct Kiri Silinder Putih Pucat 4 2,2
Oviduct Kanan Silinder Putih Pucat 15 1,7
Cornua Uteri Kiri Tanduk Putih Pucat 27 7,6
Cornua Uteri Kanan Tanduk Putih Pucat 20 4,6
Corpus Uteri Segitiga Putih Pucat 19,5 11,5
Cerviks Memanjang Merah pucat 5,6 3,2
Vagina Oval Merah pucat 15,1 4,1
Folikel Bulat Orange 1 0,5
Corpus Luteum Oval Orange -
Sumber : Hasil Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak Dasar 2010.

Tabel 2. Bentuk, Warna dan Ukuran Bagian-Bagian Organ Kelamin Sapi Betina yang tidak Bunting.

Bagian Organ Parameter Yang Diukur
Bentuk Warna Panjang (cm) Lingk. Diameter (cm)
Ovarium Kiri Oval Kuning telur 2,4 1,6
Ovarium Kanan Oval Kuning telur 3 1,8
Oviduct Kiri Lonjong Keunguan 20,2 0,4
Oviduct Kanan Lonjong Keunguan 18,9 0,6
Cornua Uteri Kiri Tanduk Kuning 16,4 3
Cornua Uteri Kanan Tanduk Kuning 20,9 3,2
Corpus Uteri Segitiga Kuning 6,2 4,3
Cerviks Memanjang Putih pucat 6,8 3,1
Vagina Oval Keunguan 20,2 2,2
Folikel - - - -
Corpus Luteum - - - -
Sumber : Hasil Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak Dasar 2010.
Pembahasan
1. Organ Kelamin Primer
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat diketahui bahwa pada umumnya bentuk ovarium pada hewan ruminansia, dalam hal ini sapi adalah bulat atau oval dan berwarna orange baik ovarium kanan, maupun pada ovarium kiri. Dimana pada ovarium kiri sapi yang sedang bunting memiliki diameter 1,7 cm. Ovarium kiri pada sapi tidak bunting panjangnya 2,4 cm dengan diameter 1,6. Ukuran yang dimiliki oleh ovarium tersebut bervariasi tergantung pada jenis ternak dan umurnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa ovaria bentuknya biasanya bulat telur atau bulat tetapi kadang-kadang pipih berhubung dengan pembentukan folikel dan corpoa lutea. Ukuran normal ovari sangat bervariasi dari satu spesies ke spesies lain bahkan antara spesies juga terdapat varisasi. Besar dan bentuk ovaria sering berubah. Ovarium umumnya berukuran panjang 32-42 mm, tinggi 19-32 mm dan lebar 13-19 mm dengan berat 10-19 gr.
Dari hasil yang tersebut dapat pula diketahui bahwa ukuran antara ovarium kanan dan kiri selalu berbeda. Dimana ovarium kanan lebih berkembang dibanding dengan ovarium kiri. Hal ini disebabkan karena ovarium kanan lebih aktif bekerja dibanding ovarium kiri terutama pada saat kebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa pada anak sapi ovarium kiri lebih besar dibanding dengan ovarium kanan, sedangkan pada sapi dewasa ovarium kanan lebih besar, sebab secara fisiologik ia lebih aktif.
Ovarium pada sapi mengandung folikel dan corpus luteum. Dimana keduanya memiliki bentuk yang oval. Folikel berwarna kuning sedangkan corpus luteum berwarna kuning coklat. Corpus luteum berada dibagian permukaan sehingga terlihat seperti benjolan. Ukurannya sangat kecil, folikel panjangnya 1 cm dengan diameter 0,5 cm sedangkan pada sapi yang tidak bunting folikel dan corpus luteumnya tidak berkembang, hal ini berkaitan dengan fungsi keduanya dalam hal menghasilkan hormon yang berperan dalam kebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa Folikel pada ovarium bergaris tengah 12 mm. Folikel yang masak bergaris tengah 8-19 mm. Sedangkan corpus luteum yang telah matang bergaris tengah 25-32 mm. Pada sapi yang tidak bunting dan normal, corpus luteum hanya aktif untuk beberapa hari, lalu mengecil. Corpus luteum pada sapi yang sedang bunting tetap tinggal dan aktif di dalam ovarium selama kebuntingan.
2. Organ Kelamin Sekunder
a. Oviduct
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, maka dapat diketahui bahwa oviduct merupakan saluran yang panjang dan kecil serta berkelok-kelok, yang menjadi penghubung antara ovarium dan uterus. Dimana oviduct merupakan tempat terjadinya fertilisasi. Hal ini sesuai dengan Frandson (1986) yang menyatakan bahwa Oviduct atau disebut tuba fallopi yang juga disebut tuba uterine adalah saluran yang berpasangan dan berkonvolusi yang menghantarkan ova dari tiap ovari menuju ke tanduk uterus, dan juga merupakan tempat terjadinya fertilisasi oleh spermatozoa. Tuba uterina bersifat bilateral, strukturnya berliku-liku yang menjulur dari daerah ovarium ke kornua uterina dan menyalurkan ovum, spermatozoa, dan zigot.
Dari hasil pengukuran yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa ukuran oviduct bervariasi, dimana oviduct kanan pada sapi bunting panjang 15 cm dan diameter 1,7 cm. Pada sapi yang tidak bunting panjang oviduct kiri 4 cm dan diameter 2,2 cm. Variasi tersebut tergantung pada ternaknya dan kebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985), Tuba fallopi sapi betina panjangnya rata-rata 12,4 cm pada anak sapi, 20,4 pada sapi dara, 24,5 pada sapi tua. Kisaran panjang dari tuba fallopi yaitu 20-35 cm. Tuba fallopi memiliki garis tengah terkecil tergantung pada jenis ternak, pertumbuhan serta kebuntingan (Salisbury, 1985).

b. Uterus
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh maka dapat diketahui bahwa uterus terdiri dari cornua uteri dan corpus uteri. Dimana cornua uteri memiliki bentuk yang menyerupai tanduk, dengan warna yang putih kekuningan atau pucat. Pada sapi betina yang bunting panjang cornua uteri kiri 27 cm dengan diameter 7,6 cm sedangkan cornua uteri kanan panjang 20 cm dan diameter 4,6 cm. Pada sapi betina tidak bunting cornua uteri kiri panjangnya 16,4 cm dan berdiameter 3 sedangkan cornua uteri kanan panjangnya 20,9 dan diameter 3,2 cm. Sedangkan corpus uteri memiliki bentuk yang lonjong dan berwarna putih pucat. Ukurannyapun bervariasi. Dimana corpus uteri sapi betina bunting panjang 19,5 dan diameter 11,5 cm. Corpus uteri sapi betina tidak bunting panjangnya 6,2 cm dan diameter 4,3 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa Uterus memiliki kesamaan antara beberapa ternak lainnya, yaitu berbetuk bicornua (dua tanduk). Pada hewan yang tak bunting uterus berada 25-40 cm ke deapan dari lubang vulva, tepat di depan cervix. Corpus Uteri bergaris tengah transversal 9-12 cm berukuran panjang 2-5 cm dan bagian depan terbagi atas 2 tanduk. Karena tanduk uterus terletak sangat berdekatan sepanjang 10-15 cm dan tumbuh bersama, maka seakan-akan corpus uteri tampak lebih panjang dari pada kenyataannya. Kadang-kadang tanduk uterus memanjang masuk ke dalam cerviks, sehingga tidak terdapat corpus uteri. Pada tempat dimana kedua tanduk memisahkan diri garis tengahnya 3-4 cm, Dari tempat pemisahan panjang tanduk uterus biasanya 20-35 cm, membuat panjang seluruh uterus menjadi 30-55 cm. Panjang uterus beragam sesuai dengan umur hewan dan faktor lain.
Uterus merupakan organ kebuntingan dan sebagai alat implantasi. Yang memiliki corpus uteri yang lebih pendek dibandingkan dengan cornua uteri. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonima (2010) yang menyatakan bahwa uterus sapi terdapat sebagian besar di ruang abdomen. Corpus uterinya sangat pendek (3-4 cm), tetapi mempunyai cornua uteri yang panjang (30-40 cm).
c. Cerviks
Dari hasil pengamatan yang dilakukan maka dapat diketahui bahwa cerviks memiliki bentuk yang membulat seperti cincin dan kadang pula tidak beraturan. Cerviks merupakan sambungan dari uterus yang menuju ke vagina. Cerviks berfungsi sebagai pintu yang menutup kemungkinan masuknya bakteri ke dalam uterus. Disamping itu cerviks juga menghasilkan mucus atau lendir sebagai pelicin. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1986), yang menyatakan bahwa cerviks atau leher uterus mengarah ke kaudal menuju ke vagina. Cerviks merupakan sfingter otot polos yang kuat, dan tertutup rapat, kecuali pada saat terjadi birahi atau pada saat kelahiran. Cerviks akan mengeluarkan mucus yang mengalir ke vulva. Peningkatan jumlah mucus berguna mencegah masuknya zat-zat yang membawa infeksi dari vagina ke dalam uterus.
Cerviks pada sapi yang bunting panjangnya 5,6 cm, berdiameter 3,2 cm. Pada sapi yang tidak bunting panjangnya 6,8 dan diameter 3,1 cm. Hal ini sesuai pendapat Salisbury (1985), yang menyatakan Cervix merupakan bagian dari alat reproduksi yang berdinding tebal dengan panjang 5-10 cm dari tempat sambungan dengan uterus ke arah belakang yang berkesinambungan dengan vagina yang berdinding tipis.
d. Vagina
Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka diketahui bahwa vagina memiliki bentuk seperti tabung (pipa), yang berwarna pucat (putih kekuningan). Ukurannya bervariasi dimana pada sapi bunting panjangnya 15,1 cm, berdiameter 4,1 cm. Pada sapi tidak bunting panjang 20,2 cm dan diameter 2,2 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonima (2010), vagina berbentuk tubulus sepanjang 15-20 cm, dengan diameter 10-12 cm apabila diregang.
Vagina merupakan perpanjangan dari cerviks yang berdinding tipis. Vagina berfungsi sebagai organ kopulasi yang menerima penis saat terjadi kopulasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985), vagina merupakan perpanjangan dari cervix sampai ketempat sambungan uretra dengan saluran alat kelamin adalah bagian yang berdinding tipis. Vagina merupakan bagian dari organ repoduksi merupakan organ kopulasi pertemuan antara organ reproduksi jantan dan betina.
3. Organ Kelamin Luar
a. Vulva
Berdasarkan praktikum yang dilaksanakan, diperoleh bahwa vulva merupakan alat kelamin betina bagian luar yang berada tepat dibawah anus, yang berfungsi sebagai bagian untuk mendeteksi birahi, tempat masuknya penis serta jalan keluarnya foetus. Vulva memiliki bibir yang disebut labia mayor dan minor. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985), bahwa Vulva merupakan alat kelamin betina bagian luar. Lubang luar alat reproduksi sapi betina berada tepat dibawah anus. Panjang 12 cm dan mempunyai sudut lebar berbentuk bulat disebelah dorsal dan sudut sempit di sebelah ventral. Pada perkawinan secara alamiah penis masuk ke dalam alat reproduksi betina melewati vulva, dan pada waktu melahirkan anak sapi melewatinya.
b. Clitoris
Dari praktikum yang dilakukan, maka dapat diketahui bahwa clitoris juga bagian organ kelamin luar pada betina yang masih menjadi bagian dari vulva yang mirip dengan penis pada jantan. Dimana letaknya tersembunyi di dalam jaringan vulva dan arcus ischiadicum. Hal ini sesuai dengan pendapat Saliasbury (1985), bahwa tepat disebelah dalam di tempat pertemuan bawah bibir vulva terdapat tenunan erectile yang disebut clitoris. Hanya bagian ujung clitoris yang tampak, tetapi kira-kira keseluruhan panjang clitoris kira-kira 10 cm. Clitoris mempunyai persamaan dengan penis hewan jantan.
Klitoris membriorik homolog dengan penis sedang vulva homolog dengan skrotum. Semua bagian dari alat kelamin bagian luar ini yaitu klitoris mempunyai banyak ujung-ujung saraf perasa. Syaraf perasa ini memegeng peranan penting pada waktu kopulasi. Klitoris dapat sedikit bereaksi karena mengandung sepasang unsure cavernus yang kecil sedang vulva dapat menjadi tegang karena bertambahnya volume darah yang mengalir kedalamnya (Anonimb, 2010).

Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
- Organ kelamin betina terbagi atas 3 yaitu organ kelamin primer (ovarium), organ kelamin sekunder oviduct atau tuba fallopi, uterus, cerviks dan vagina dan organ kelamin luar (vulva dan chlitoris).
- Ovarium berbentuk oval berwarna orange dengan diameter 1,7 cm, yang berfungsi untuk menghasilkan ovum dan hormone.
- Oviduct kiri berbentuk tabung silinder kecil berwarna putih pucat, panjang 4 cm dengan diameter 2,2 cm dan oviduct kanan memiliki panjang 15 cm dengan diameter 1,7 cm. Fungsi oviduct adalah sebagai tempat fertilisasi.
- Uterus terbagi 2 yaitu cornua uteri dan corpus uteri. Pada cornua uteri kiri berbentuk tanduk silinder berwarna putih pucat begitu pula pada cornua uteri kanan, panjang cornua uteri kiri 27 cm dengan diameternya 7,6 cm sedangkan panjang cornua uteri kanan 20 cm dengan diameter 4,6 cm. Panjang corpus uteri 19,5 cm dengan diameter 11,5 cm dan berbentuk bulat menyerupai segitiga, berfungsi menerima ovum yang telah dibuahi dan berkembang menjadi embrio.
- Cerviks berbentuk tabung berwarna merah pucat dengan panjang 5,6 cm dengan diameter 3,2 cm seperti cincin, yang berfungsi sebagai pelindung uterus.
- Vagina berbentuk silinder berwarna merah pucat dan panjangnya 15,1 cm dengan diameter 4,1 cm, yang berfungsi sebagai organ kopulasi dan tempat keluarnya anak dan masuknya spermatozoa.
- Vulva dan chlitoris berfungsi pada saat terjadi perkawinan alamiah yang masing-masing terletak paling luar dari organ kelamin betina.

Saran
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka sebaiknya organ yang digunakan cukup satu hewan saja, selain memudahkan dalam laporan, juga memudahkan dalam pencarian literatur atau daftar pustaka.

DAFTAR PUSTAKA

Anonima. 2010. Ovarium Betina. "http://id.wikipedia.org/wiki/Ovarium". Di akses pada tanggal 13 Maret 2010.

______b. 2009. Ovarium. (http://www.google. Ovarium). Di akses pada tanggal 14 Maret 2010.

Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Marawali, A. 2001. Dasar-Dasar Ilmu reproduksi Ternak. Departemen Pendidikan Nasional Dirjen Pendidikan Tinggi Badan Kerjasama Pergiruan Tinggi Negeri Indonesia Timur, Kupang.

Partodihardjo, S. 1985. Ilmu Produksi Hewan. Produksi Mutiara, Jakarta.

Salisbury, G.M. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Toelihere, M.R. 1979. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.